Selasa, 30 Desember 2014

Tugas Akhir Psikologi Klinis
Melakukan Asesmen Gangguan Klinis Berdasarkan Analisis Diagnosis Multiaksi PPDGJ

Diampu Oleh:

Ibu Rr. Dwi Astuti, S.Psi, M.Si






DISUSUN OLEH :

Eka Safa’ati (201360027)

 


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2014
I.          IDENTITAS
A.    SUBYEK
Nama                                : KH
Jenis Kelamin                   : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir      : Kudus, 25 April 1995
Umur                                : 19 Tahun
Berat Badan                     : 44 Kg
Tinggi Badan                   : 160 Cm.
Anak Ke                           : 1 dari 3 Bersaudara
Agama                              : Islam
Pendidikan                       : Mahasiswa STAIN Kudus
Suku                                 : Jawa
Alamat                             : Ds. Jepang Wetan Rt. 02 Rw. 03 Mejobo Kudus.

B.     IDENTITAS KELUARGA
NAMA
L/P
UMUR
PENDIDIKAN
PEKERJAAN
KET

S

L

40

SMA

Wiraswasta

Ayah Kandung

I

P

37

SMA

Ibu Rumah Tangga

Ibu Kandung

KH

P

19

STAIN Kudus

Mahasiswa

Subyek

B

L

14

MTS

Pelajar

Adik Subyek

Z

L

12

MI

Pelajar

Adik Subyek




C.    GENOGRAM
 









Keterangan:
Subyek anak pertama dari tiga bersaudara.

II.       AGENDA KEGIATAN


Tanggal

Kegiatan

Tempat

22 November 2014

Observasi
Rumah Subyek
Jepang Wetan

23 November 2014

Observasi
Rumah Subyek
Jepang Wetan
25 November 2014

Observasi saat Subyek Istirahat mencari makan dll di Kampus.
Kantin Kampus
Warung Makan Kaki lima di Sekitar Kampus.
27 Desember 2014
Observasi saat Subyek Istirahat mencari makan dll di Kampus.
Kantin Kampus
Warung Makan Kaki lima di Sekitar Kampus.
01 Desember 2014
Autoanamnesis Subyek
Rumah Subyek
Jepang Wetan
02 Desember 2014
Alloanamnesis Sahabat Subyek yang Telah Berteman Sejak Dulu
Rumah Subyek
Jepang Wetan

04 Desember 2014

Alloanamnesis Teman sekampus Subyek

STAIN Kudus

06 Desember 2014

Alloanamnesis Tetangga Subyek

Jepang Wetan

07 Desember 2014

Alloanamnesis Orang Tua Subyek
Rumah Subyek
Jepang Wetan

III.    KELUHAN
Keluhan dari orang tua Subyek adalah Subyek saat bertemu dengan obyek yang ditakutinya tidak bisa mengontrol emosi ketakutannya sehingga kadang jika diajak makan di luar rumah semisal di warung-warung makan terdekat dari rumah, menurut Orang Tua Subyek, Subyek sangat begitu merepotkan dan membuat malu mereka karena subyek suka berteriak dengan ketakutannya tersebut saat tidak sengaja dihadapkan dengan obyek yang ditakutinya. sehingga ketika Orang Tua Subyek mengajak makan di luar rumah saat Ibu subyek tidak memasak ke dua orang tua Subyek selalu berfikir keras untuk mencari tempat yang murah dan tidak ada obyek yang ditakuti oleh Subyek yaitu Kucing.
Keluhan dari Subyek sendiri ketika Subyek melihat atau berhadapan secara langsung dengan objek yang ditakutinya tersebut, Subyek merasa takut yang tidak terkendali yang ditandai dengan perubahan fisiologis yang sangat cepat seperti detak jantung semakin berdebar kencang dua kali lipat dan berkeringat. Sehingga hal tersebut menimbulkan dorongan untuk melarikan diri pada obyek yang di takutinya.
Sejak kecil Subyek memiliki ketakutan yang amat sangat terhadap Kucing. Meski yang dihadapi adalah seekor kucing yang lemah dan kurus sekalipun, tetap saja Subyek merasa ketakutan.
Subyek juga merasa jijik bila harus menginjak lantai bekas pijakan kucing yang lewat. Karena Subyek menganggap bahwa di telapak kaki kucing terdapat banyak kuman yang menempel sehingga Apabila dia menginjak lantai bekas pijakan kucing rasanya Subyek ingin mencuci kakinya sebersih mungkin. Tak hanya itu, Subyek juga Jijik melihat Boneka berbentuk kucing.
Saat ini bila Subyek bertemu seekor kucing, dia merasa bahwa kucing tersebut akan melompat kearahnya, mencakarnya bahkan memakannya.

IV.    HASIL PENGUMPULAN DATA
A.    Observasi
1.      Observasi Penampilan Fisik.
Subyek adalah seorang remaja perempuan dengan tinggi 160 cm dan memiliki berat badan 44 Kg. Berwajah tirus dan Berkulit Kuning langsat dengan perawakan kurus tinggi, Tiap hari Subyek memakai Jilbab.
2.      Observasi Lingkungan Fisik
Sabyek tinggal satu rumah bersama ayah dan ibu kandung Subyek serta adik-adik Subyek. Rumah Subyek dekat dengan rumah-rumah pengusaha konveksi tas.
Di depan rumah Subyek terdapat kolam ikan dan taman dengan ukuran yang kecil. Di belakang rumah terdapat kandang ayam, angsa dan burung dara. Di samping rumah juga terdapat kandang ayam milik ayah Subyek. rumah Subyek berdiri permanen dengan ukuran yang lumayan besar, memiliki 3 kamar tidur, ruang tamu dan ruang makan. Kemudian terdapat pula dapur dan kamar mandi serta garansi untuk ukuran mobil yang berada pada satu jalur. Garansi tersebut sekarang digunakan sebagai tempat usaha konveksi tas Ayah Subyek dengan 4 karyawannya.
3.      Observasi saat Subyek Istirahat Mencari makan/Mengisi perut di kampus
Tiap kali Subyek diajak teman-temannya untuk makan siang yang dimana tempatnya Subyek rasa ada obyek yang di takutinya, Subyek selalu menolak ajakan tersebut dan Subyek rela untuk tidak makan siang dan hanya makan-makanan ringan saja di kampus daripada makan dan bertemu dengan obyek yang ditakutinya. Pernah suatu hari Subyek diajak ke warung makan terbaru yang berada lumayan jauh dari kampusnya dan tak sengaja bertemu dengan obyek yang ditakutinya, Subyek terlihat ketakutan padahal, kucing tersebut hanya diam dan tidur dengan nyenyak dan tidak sedang menghampiri Subyek. pada saat itu Subyek Sempat meminta teman-temanya untuk mengusir kucing tersebut walaupun sudah di usir, Subyek tetap tidak dapat makan dengan tenang dan terus menerus mengamati keadaan disekitar. Tindakan minimal ketika Subyek makan dan bertemu dengan kucing adalah makan dengan terburu-buru sambil matanya tidak henti-hentinya mengawasi kucing tersebut. Dan bila ada tanda-tanda si kucing mulai mendekatinya, maka Subyek akan segera mengambil ancang-ancang untuk berdiri dan siap kabur dari tempat tersebut.



B.     Wawancara
1.      Autoanamnesa Terhadap Subyek (KH)
Subyek mengaku, bahwa sejak kecil Subyek memiliki ketakutan yang amat sangat terhadap Kucing. Meski yang Subyek hadapi adalah kucing yang kurus dan lemah sekalipun. Ketakutan tersebut menimbulkan dorongan untuk segera malarikan diri. Tutur Subyek.
Subyek juga mengaku, mengetahui ketakutan Subyek terhadap kucing tersebut subyek segaja untuk merahasiakan hal tersebut kepada teman-temannya yang lain yang belum mengetahuinya karena Subyek takut dianggap gila oleh orang lain atau malah di buat bahan olokan, bahan jailan teman-temannya yang lain dengan menggunakan binatang kucing tersebut.
Saat ditanya mengenai kenapa Subyek merasa takut yang berlebih terhadap obyek yang ditakutinya (Kucing), dari pertanyaan yang diajukan oleh observer kepada Subyek tersebut jawaban yang Observer tangkap dari Subyek adalah jawaban-jawaban yang tidak irasional (tidak ada alasan yang nyata) yang ditimbulkan oleh suatu stimulus obyek atau situasi tertentu tersebut seperti ketika atau saat Subyek bertemu dengan seekor Kucing dia merasa bahwa kucing tersebut akan melompat kearahnya kemudian mencakar dan memakan diri Subyek.Selain rasa takut Subyek juga merasa jijik bila menginjak lantai bekas pijakan atau boneka menyerupai obyek yang ditakutinya (Kucing).
Subyek juga mengaku bila Subyek sedang makan dipinggir jalan misalnya, dan tiba-tiba ada seekor kucing mendekati Subyek, maka Subyek langsung mengambil langkah seribu (berteriak, lari dll), meski makanan yang ada dipiringnya masih utuh dan belum dimakan sedikitpun ataupun tindakan minimal yang Subyek ambil adalah makan dengan terburu-buru sambil mata tak henti-hentinya mengawasi tingkah polah kucing tersebut dan apabila ada tanda-tanda kucing tersebut mulai mendekatinya, maka Subyek siap mengambil ancang-ancang berdiri dan siap untuk kabur dari tempat makan tersebut, Tutur Subyek.
Pengalaman Subyek bertemu dengan binatang yang ditakutinya tersebut tidak hanya pada saat-saat makan dan lain-lain akan tetapi masih banyak lagi salah satunya yaitu Subyek pernah mempunyai pengalaman pada saat pulang dari kampus ke rumah Subyek.  Ketika Subyek mau masuk ke dalam rumah ,Subyek melihat seekor kucing yang sedang melingkar tidur dengan nyamannya di karpet pintu depan rumahnya, alhasil Subyek mengaku tidak berani untuk masuk dan rela menunggu diluar sampai ada orang yang dapat dimintai pertolongan untuk mengusir kucing tersebut. Walaupun kucing tersebut sudah diusir, Subyek tetap masih merasa takut untuk masuk ke dalam rumah lewat pintu depat tersebut. Alhasil Subyek nekat untuk masuk ke dalam rumah lewat jendela yang mengarah langsung ke kamar tidur milik Subyek.
Subyek juga menyadari bahwa ketakutannya tidak beralasan dan berlebihan, namun Subyek sendiri tidak berdaya untuk mengatasinya.

2.      Alloanamnesis Sahabat Subyek (P)
P adalah salah satu sahabat Subyek dari dua sahabat Subyek yang lain. P mengaku telah menjalin Pertemanan dengan Subyek selama 7 tahun hingga kini, Sehingga P mengenal dekat dengan Subyek mulai dari sifat, katakutan terhadap salah satu binatang dan lain-lain.
Mendengar hal tersebut, observer menanyakan lebih lanjut kepada P mengenai ketakutan Subyek terhadap salah satu binatang tersebut. P mengaku bahwa Subyek takut terhadap binatang kucing, ketika Subyek dihadapkan atau tidak sengaja dihadapkan oleh seekor kucing P mengaku kepada Observer bahwa Subyek akan mengambil ancang-ancang untuk lari, berteriak minta tolong dan lain-lain. Pada saat wawancara berlangsung P juga menceritakan peristiwa pengalaman Subyek saat dikelas. Dulu saat masih dibangku MTS ruang kelas P dan Subyek (yang satu kelas) berada dekat dengan kantin sekolah.
Tidak tahu kenapa yang dulunya selama P dan Subyek di bangku MTS kantin sekolah tidak ada kucingnya, yang tiba-tiba dikantin sekolah ada kucing yang lucu, kecil mungil dan imut menurut P, mengetahui hal tersebut P memang tidak memberi tahu kepada Subyek yang pada saat itu sedang makan bersamanya di kantin. Kalau saja semisal hal tersebut di ketahui Subyek, P yakin suasana di kantin tersebut akan ramai karena teman-teman yang melihat Subyek ketakutan dan membuat malu dirinya dan Subyek.
Tidak tahu kenapa tiba-tiba kucing tersebut berada diruang kelas mereka yang sedang diajak bermain oleh teman-teman yang lain di dalam kelas, mengetahui hal tersebut Subyek tidak berani memasuki ruang kelasnya walaupun kucing tersebut sudah dipindahkan atau di usir oleh P dari ruang kelas mereka. Bahkan Subyek rela untuk tidak mengikuti kegiatan pembelajaran selanjutnya dan memilih untuk pergi ke UKS.
Pada saat itu, P sempat bertanya mengenai alasan Subyek takut terhadap kucing, P menertawakan Subyek karena alasan yang P dengar dari Subyek tidak masuk akal, dari P Subyek mengaku bahwa ketika Subyek bertemu seekor kucing, kucing tersebut akan mencakarnya, melompat bahkan memakan dirinya. Mendengar alasan tersebut P menjelaskan kepada Observer dengan tertawa terbahak-bahak. Pernah suatu hari P ingin sekali membantu Subyek untuk tidak takut lagi terhadap kucing, akan tetapi Subyek marah bahkan mendengar kata kucing disebut saja Subyek sudah merasa takut dan risih.
Ada lagi pengalaman P bersama Subyek dengan ketakutan dan penghindaran Subyek kepada Kucing, sewaktu di bangku MA, ceritanya hampir sama seperti pada waktu di bangku MTS akan tetapi kejadian tersebut Subyek berada di dalam kelas dan tiba-tiba kucing kecil berwarna Putih kecoklatan masuk kedalam kelas. Pada saat itu P melihat Subyek berusaha memberanikan diri untuk mengusir Kucing tersebut akan tetapi usahanya mengusir kucing tersebut tidak berhasil, Subyek malah di kejar-kejar Kucing tersebut berlarian kesana kemari sehingga membuat kelas-kelas yang lain pada gaduh dan penasaran karena teriakan Subyek saat lari di kejar Kucing. Hal tersebut menambah rasa takutnya terhadap Kucing.

3.      Alloanamnesis Teman sekampus Subyek (Y)
Pada awalnya, salah satu teman sekampus Subyek ini tidak mengetahui kalau Subyek takut dengan binatang kucing. Y mengetahui kalau Subyek takut dengan kucing ketika Y dan teman-teman sekelasnya yang lain mengajak Subyek untuk makan siang di warung pinggir jalan dekat kampus. Y mengaku pada awalnya Subyek menolak ajakan teman-temannya terebut akan tetapi setelah dipaksa oleh teman-teman yang lain terutama Y akhirnya Subyek mau makan di pinggir jalan.
Y berkata, Pada saat itu kita sangat menikmati suasana keramaian yang ada sambil menunggu pesanan datang. Tiba-tiba tidak disangka di bawah meja makan kami terdengar suara kucing yang keluar dari meja tempat makan kami, sontak kita semua terkaget, bukan kaget karena kucing tersebut akan tetapi karena teriakan Subyek yang sangat keras minta tolong dan sambil melarikan diri hingga menabrak alu lalang orang-orang di sekitar. Tak hanya Y dan teman-teman yang lainya kaget akan tetapi semua orang dengan mata tertuju pada meja tempat kita makan dan masing-masing sontak menghentikan aktivitas makannya.
Y juga berkata setelah itu Subyek tidak mau masuk dan malanjutkan atau menghabiskan makananya walaupun kucing tersebut sudah diusir dari tempat makan tersebut. Subyek lebih memilih untuk tidak makan dan hanya menunggu teman-temannya menghabiskan makanan mereka sambil menenangkan diri di dalam ruang perkuliahan untuk mata kuliah selanjutnya. Y juga mengaku pada saat kejadian Subyek terlihat ketakutan dan gemetar serta wajah Subyek terlihat memerah dan berkeringat.

4.      Alloanamnesis Tetangga Subyek (Ibu E)
Ibu E adalah tetangga dekat Subyek rumahnya berada tepat di samping rumah Subyek, menurut Ibu E, sudak sejak kecil ketakutan yang dialami oleh Subyek pada binatang kucing. Tidak hanya rasa takut saja akan tetapi rasa takut yang amat sangat terhadap binatang kucing tersebut, Tutur Ibu E.
Ibu E juga mengatakan ketakutan tersebut tidak hanya pada kucing yang memiliki postur tubuh besar dan gemuk akan tetapi juga pada kucing yang lemah dan kurus serta kecil sekalipun tetap saja Subyek merasa ketakutan.
Mengetahui ketakutan Subyek terhadap kucing tersebut, anak dari Ibu E kadang suka jail dan menakut-nakuti Subyek dengan menggunakan kucing peliharaan anaknya Ibu E. Walaupun hanya dengan menyebut nama kucing tersebut Subyek sudah merasa ketakutan dan lari atau menghindar.

5.      Alloanamnesis kedua orang Tua Subyek (Bpk. S dan Ibu I)
Kedua orang tua Subyek mengakui bahwa sejak kecil, Subyek waktu berumur 3 tahun takut terhadap kucing. Ibu I juga mengatakan, meskipun kucing yang Subyek hadapi adalah seekor kucing yang berukuran kecil, kurus dan lemah sekalipun. Kedua orang tua Subyek juga berkata, Dari riwayat keluargapun tidak ada yang mengalami hal yang seperti itu, yaitu merasa takut yang berlebihan akan suatu hal atau binatang.
Seingat ibu I, dulu waktu kecil saat Subyek berumur 2 Tahun Subyek suka sekali bermain bersama kucing. Hingga suatu hari saat Subyek berumur 3 tahun Subyek bermain dengan segerombolan kucing, entah tak tahu kenapa saat Subyek bermain dengan kucing-kucing tersebut Subyek dicakar dan digigit oleh salah satu kucing yang ada pada segerombolan kucing tersebut sehingga Subyek kaget dan menangis seketika waktu karena luka ditanganya. Tangisan Subyek dan geraman si kucing membuat kucing-kucing yang lain pada bergerombol mendekati Subyek.
Menurut kedua orang tuanya semenjak kejadian tersebut, ketika Subyek melihat kucing, Subyek merasa takut dan berlari minta tolong ke Ibu atau Bapaknya sambil menangis. Bpk. S pun juga berkata semenjak kejadian itu pula ketika Subyek mendengar suara kucing yang hanya mengeluarkan suara mengeong saja Subyek menangis ketakutan.

V.       ETIOLOGI
Sejak kecil Subyek senang sekali bermain dengan kucing akan tetapi, Saat Subyek (KH) berusia 3 tahun Subyek (KH) mengalami rasa takut yang berlebihan pada obyek yang Subyek (KH) takuti yaitu Kucing. Hal tersebut dikarenakan Subyek (KH) mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dengan obyek binatang yang ditakutinya tersebut (Kucing).
Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut terjadi pada saat Subyek bermain dengan segerombolan kucing dan entah kenapa saat Subyek bermain dengan kucing-kucing tersebut Subyek dicakar dan digigit oleh salah satu kucing yang ada pada segerombolan kucing tersebut sehingga Subyek kaget dan menangis seketika waktu karena luka ditanganya. Tangisan Subyek dan geraman si kucing pada saat itu membuat kucing-kucing yang lain pada bergerombol mendekati Subyek.
Sejak adanya kejadian tersebut, waktu kecil setiap Subyek melihat Kucing Subyek merasa takut dan menagis. Pengalaman yang tidak menyenagkan (traumatis) di masa kecil Subyek tersebut, berkembang sampai saat ini hingga Subyek berumur 19 tahun jika Subyek bertemu atau berhadapan dengan obyek yang ditakutinya tersebut Subyek merasa takut sehingga detak jantungnya berdebar kencang dua kali lipat dari sebelumnya sehingga menimbulkan dorongan untuk lari atau menghindar dari obyek yang ditakutinya tersebut.

VI.    PERMASALAHAN
A.    Kondisi Kognitif
Terdapat pemikiran yang tidak rasional yang dimiliki Subyek ketika Subyek berhadapan dengan Kucing, yaitu Obyek yang ditakutinya. Munculnya pemikiran yang tidak rasional tersebut seperti ketika atau saat Subyek bertemu dengan seekor Kucing dia merasa bahwa kucing tersebut akan melompat kearahnya kemudian mencakar dan memakan diri Subyek.
Subyek juga selalu memikirkan situasi dan kemungkinan bahaya yang akan terjadi pada dirinya. Subyek secara terus menerus terlalu melebih-lebihkan derajat bahaya maupun kemungkinan bahaya terhadap obyek yang ditakutinya tersebut. Hal tersebut menjadikan Subyek selalu siaga berlebihan dan selalu mencari tanda-tanda bahaya pada obyek yang ditakutinya (Kucing) sehingga Subyek sulit untuk berkonsentrasi. Hal ini terjadi karena perasaan was-was Subyek terhadap obyek yang ditakutinya.
B.     Kondisi Fisik
Pada keadaan normal (saat tidak berhadapan dengan Kucing) Kondisi fisik Subyek sama seperti orang normal yang lain akan tetapi saat Subyek berhadapan dengan obyek yang ditakutinya (Kucing), Subyek merasa gemetar serta wajah Subyek terlihat memerah, berkeringat, dan detak jantung yang semakin berdebar kencang dua kali lipat. Tak hanya fisik saja akan tetapi kondisi psikis Subyek juga terlihat seperti Subyek merasa ketakutan dan panik saat berhadapan dengan kucing.
C.    Kondisi Emosi
Subyek memiliki emosi yang berlebih dan tidak terkontrol seperti rasa takut, cemas dan lain-lain pada saat Subyek dihadapkan dengan Obyek yang ditakutinya yaitu Kucing dengan pemikiran rasa takut yang tidak rasional (tidak ada alasan yang nyata) yang ditimbulkan oleh suatu stimulus pada obyek yang ditakutinya sehingga menimbulkan dorongan untuk lari atau menghindar dari obyek yang ditakutinya tersebut.
D.    Kondisi Sosial
Jarang meninggalkan rumah atau keluar rumah dan takut untuk makan di warung kaki lima atau warung yang baru subyek kenal karena rasa takut atau khawatir Subyek jika Subyek berhadapan dengan obyek yang ditakutinya (kucing). Hal tersebut mempengaruhi Subyek dalam beraktivitas untuk pergi ke tempat-tempat lain dan menghalangi Subyek menikmati sesuatu saat subyek makan dan lain-lain di warung makan.


VII. DASAR TEORI
Fobia adalah rasa takut yang tidak normal dan irasional (sulit dijelaskan alasannya) terhadap sesuatu (baik benda maupun situasi) secara berlebihan. Kata fobia sendiri berasal dari bahasa Yunani “phobos” yang artinya “fear” (ketakutan). Pertama kali kata fobia diperkenalkan sebagai istilah kedokteran oleh Celsus, seorang Romawi pencipta ensiklopedi. Pada tahun 1895, Henry Maudsley (1835-1918), seorang psikiater dan penulis asal Inggris menganjurkan untuk memberi nama khusus untuk setiap fobia.
Menurut Atkitson (2005: 253) mengatakan Istilah "phobia" berasal dari kata "phobi" yang artinya ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan dan dialami oleh sesorang. Phobia merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi tertentu. Ciri psikis adalah rasa cemas/ panik, tetapi tanpa dasar yang jelas, sedangkan ciri fisik misalnya : gemetar, jantung berdebar-debar, terkadang disertai nafas tersengal-sengal.
Rasa takut atau cemas adalah hal yang wajar dialami oleh manusia. Rasa takut bukan hanya emosi yang normal, tetapi juga emosi yang esensial. Orang yang tidak punya rasa takut justru berada dalam bahaya yang serius, karena rasa takut adalah mekanisme mempertahankan atau melindungi diri dari situasi yang mengancam. Sebagian orang mengalami ketakutan lebih dari orang lain. Takut tidak hanya emosi, bersamaan dengan itu akan muncul juga reaksi pada badan jasmani kita, misalnya keringat dingin, gemetar, otot lemas, pucat, tubuh kaku, dan sebagainya.
Namun fobia berbeda dengan ketakutan yang biasa. Fobia adalah ketakutan yang hebat, di luar proporsi tuntutan situasi. Fobia tidak memiliki alasan yang rasional dan di luar kontrol si penderitanya. Banyak orang tidak suka dengan ular atau laba-laba, tapi beberapa orang memiliki
ketakutan yang berlebihan. Bahkan sebuah gambar atau pikiran tentang ular atau laba-laba membuat penderita fobia ini mengalami peningkatan tekanan darah, jantung berdebar, dan peningkatan sekresi hormon kortisol.
https://muhamadafirdaus.files.wordpress.com/2012/10/ptsd_stress_brain.gif
Bagian pada otak yang terisolasi dengan fobia, Menurut pembahasan neurobiology fobia terjadi pada bagian otak yang disebut amigdala dan hipokampus. Suatu peristiwa direkam oleh amigdala dan hipokampus, terkungkung dalam loop saraf-saraf bagian tersebut. Sehingga setiap kali situasi yang identik tersebut terjadi, maka “rekaman” tersebut akan diputar berulang-ulang. Hal ini lah yang menyebabkan orang yang memiliki trauma akan sesuatu menjadi fobia juga terhadap sesuatu itu. Respon yang ditimbulkan juga atas pengaruh dari otak. Yaitu ketika amigdala memicu sekresi hormon yang mempengaruhi ketakutan dan agresi. Ketika respon rasa takut atau agresi dimulai, amigdala dapat memicu pelepasan hormon ke dalam tubuh untuk menempatkan tubuh manusia menjadi kondisi waspada, di mana mereka siap untuk bergerak, berlari, melawan, dan lain-lain.
Fobia bisa diderita oleh siapa saja tanpa batasan usia dan jenis kelamin. Penderita fobia menyadari bahwa ketakutannya tidak beralasan dan berlebihan, namun ia sendiri tidak berdaya untuk mengatasinya. Pada tingkat yang ekstrim, penderita fobia akan merasa ia akan menjadi gila
karena ketakutan yang membayanginya.
Sebagian fobia disebabkan karena pengalaman traumatis, yang seringkali terjadi pada masa kanak-kanak. Seorang anak yang digigit oleh anjing mungkin di kemudian hari akan takut dengan semua anjing, meskipun si anak bahkan sudah lupa dengan pengalaman itu. Pengalaman seseorang terjebak di lift juga bisa menyebabkan fobia terhadap lift, atau bahkan lebih parah lagi bisa tergeneralisasi menjadi takut berada dalam ruangan sempit dan tertutup.
Ada sebuah perbedaan sudut pandang antara pengamat fobia (orang yang dalam satu kasus tidak mengidap fobia) dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan logikanya, sedangkan pengidap fobia tidak. Bagi si pengamat fobia, seekor laba-laba mungkin hanya seekor binatang kecil berkaki 8 yang akan mati dalam sekali pukul, namun bagi pengidap fobia, hadirnya seekor laba-laba di depan dirinya adalah ketakutan terbesar dalam hidupnya.
Reaksi paling umum dari seorang yang mengidap fobia adalah menghindari (avoid) objek/situasi yang mereka takuti. Namun bukan tidak mungkin seorang pengidap fobia justru melawan. Misalnya untuk kasus fobia terhadap laba-laba, yang umum dilakukan penderita fobia laba-laba adalah memeriksa seluruh sudut ruangan yang ia masuki, memastikan tidak ada laba-laba baru ia dapat merasa aman, dan jika ada laba-laba, ia akan pergi menghindari laba-laba itu. Tapi ada beberapa penderita yang justru dengan histeris mendatangi laba-laba itu dan membunuhnya tanpa ampun sampai benar-benar yakin kalau laba-laba yang ia lihat sudah mati.
Namun reaksi ini lebih jarang terjadi, pada umumnya penderita fobia lebih memilih menghindar daripada melawan. Secara umum, penyebab fobia biasanya adalah:

1.      Suatu peristiwa yang menyebabkan trauma.
Contoh: Seseorang pernah dicakar kucing sewaktu kecil dan menjadi pengalaman yang traumatis. Ketika sudah dewasa, ia menjadi fobia terhadap kucing.
2.      Budaya dan keyakinan.
Contoh: Seseorang memegang budaya/keyakinan yang mengatakan bahwa warna putih adalah warna yang tidak baik karena melambangkan kematian. Selanjutnya orang ini menunjukkan ketakutan berlebihan (fobia) terhadap warna putih.
3.      Pola asuh yang keliru.
Contoh: Seseorang ketika kecil terlalu diproteksi oleh orang tuanya (orang tuanya over protective). Orang tuanya tidak pernah mengijinkan anaknya memegang jarum dengan alasan berbahaya. Akibatnya karena ini berlangsung terus-menerus, ketika si anak besar ia menjadi fobia terhadap jarum suntik.
4.      Permodelan dan pengkondisian.
Contoh : Orang tua seseorang memiliki fobia terhadap lebah dan menunjukkan sikap ketakutan ketika ada lebah di dekatnya. Hal ini terus dilihat oleh anaknya, sehingga anaknya ikut menganggap bahwa lebah adalah hewan yang menakutkan dan menjadi fobia lebah.

Sebagian besar penderita fobia menyembunyikan ketakutannya, atau tidak berterus terang kepada orang lain soal rasa takutnya yang tak wajar karena takut dianggap gila atau sakit jiwa oleh orang lain. Sebenarnya fobia bukanlah gangguan mental yang serius, orang yang menderita fobia tetap bisa beraktivitas normal dengan cara menghindari sumber rasa takutnya.
Fobia atau ketakutan yang menetap dan berlebihan terhadap sesuatu objek atau situasi spesifik seperti ketakutan terhadap binatang, benda atau situasi tertentu disebut specific phobia (APA, 2000). Specific phobia sering bermula pada masa kanak-kanak. Banyak anak yang mengembangkan ketakutan terhadap objek atau situasi spesifik, tetapi hal ini akan berlalu, akan tetapi pada beberapa orang, ketakutan ini akan terus berlanjut menjadi fobia kronis yang signifikan secara klinis (Nevid, 2005).
Specific phobia adalah salah satu gangguan yang paling banyak dialami oleh anak-anak. Flatt dan King (2008), menunjukkan bahwa fobia pada anak biasanya berupa fobia pada hewan atau situasi tertentu yang dapat menyebabkan ketidakmampuan dalam menjalani hubungan dengan orang lain, sosial dan kompetensi akademik. Karena itu sangat penting untuk menyembuhkan fobia pada anak-anak maupun orang dewasa secepatnya agar tidak menjadi lebih serius.
Specific phobia adalah salah satu gangguan psikologis yang paling umum, sekitar 7-11% dari populasi umum (APA, 2000). Specific phobia cenderung berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun atau selama beberapa dekade kecuali bila ditangani dengan baik, dan biasanya perempuan mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki untuk mengalami specific phobia (Nevid, 2005).

Fobia spesifik diklasifikasikan lagi menjadi beberapa sub-tipe, yaitu :
1.      Animal Type: ketakutan disebabkan oleh hewan.
2.      Natural Environment Type: ketakutan disebabkan oleh lingkungan alam seperti guntur, air, dan sebagainya.
3.      Blood-Injection-Injury Type: ketakutan disebabkan oleh hal yang berkaitan dengan darah dan rasa sakit.
4.      Situational Type: ketakutan yang disebabkan oleh suatu situasi yang spesifik.
5.      Other Type: ketakutan disebabkan oleh suatu objek yang tertentu.

Fobia terbagi ke dalam 2 jenis, yaitu fobia sederhana (simple phobia) dan fobia kompleks (complex phobia). Perbedaannya adalah:
1.      Fobia kompleks (complex phobia)
Fobia kompleks berhubungan dengan banyak pemicu. Jenis fobia ini biasanya merupakan gejala dari beberapa masalah psikologis yang belum terselesaikan. Misalnya orang yang fobia berbicara di depan umum, masalah utama sebenarnya adalah rendah diri, minder dan kurangnya percaya diri akibat mempunyai pengalaman memalukan di depan umum dan mengaitkan emosi negatif tersebut ketika berbicara di depan umum. Yang termasuk dalam jenis fobia kompleks adalah agorafobia dan fobia sosial.
2.      Fobia sederhana (simple phobia)
Fobia sederhana adalah jenis fobia yang muncul karena satu pemicu saja yang berupa objek atau situasi yang spesifik. Fobia spesifik termasuk ke dalam jenis fobia sederhana.

Secara keseluruhan, perbandingan jumlah penderita fobia spesifik wanita dengan pria adalah 2:1. Namun rasio ini bervariasi menurut sub-tipenya, misalnya untuk sub-tipe Animal dan Natural Environment penderitanya 75-90% adalah wanita, lalu untuk sub-tipe Situational 55- 70% penderitanya adalah wanita dan untuk sub-tipe Blood-Injection-Injury sekitar 55-70% penderitanya adalah wanita.
Bila seseorang yang menderita phobia melihat atau bertemu atau berada pada situasi yang membuatnya takut (phobia), gejalanya adalah sebagai berikut: Jantung berdebar kencang, Kesulitan mengatur napas, Dada terasa sakit, Wajah memerah dan berkeringat, Merasa sakit, Gemetar, Pusing, Mulut terasa kering, Merasa perlu pergi ke toilet, Merasa lemas dan akhirnya pingsan.

Kriteria seseorang dapat didiagnosa menderita fobia spesifik:
1.   Memiliki ketakutan berlebihan dan tidak masuk akal ketika berhadapan dengan sebuah objek atau situasi spesifik.
2.   Respon kecemasan muncul terhadap objek/situasi fobiknya, dan cenderung mudah mengalami Panic Attack.
3.   Orang itu menyadari bahwa ketakutannya berlebihan dan tidak masuk akal, namun tidak berdaya untuk mengatasinya.
4.   Selalu menghindari dan mengantisipasi objek/situasi yang ditakuti.
5.   Untuk usia 18 tahun ke bawah, hal ini berlangsung selama setidaknya 6 bulan.



VIII.       DINAMIKA PSIKOLOGI
Fobia adalah rasa takut yang tidak normal dan irrasional (sulit dijelaskan alasannya) terhadap sesuatu (baik benda maupun situasi) secara berlebihan. Atkitson (2005: 253) juga mengatakan bahwa fobia adalah ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan dan dialami oleh sesorang. Hal inilah yang menjadi gangguan psikologis pada Subyek yang mengalami rasa takut yang berlebihan dan tidak rasional terhadap Binatang kucing (Fobia Kucing).
Sejak kecil Subyek senang sekali bermain dengan kucing akan tetapi, Saat Subyek (KH) berusia 3 tahun Subyek (KH) mengalami rasa takut yang berlebihan pada obyek yang Subyek (KH) takuti yaitu Kucing. Hal tersebut dikarenakan Subyek (KH) mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dengan obyek binatang yang ditakutinya tersebut (Kucing).
Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut terjadi pada saat Subyek bermain dengan segerombolan kucing dan entah kenapa saat Subyek bermain dengan kucing-kucing tersebut Subyek dicakar dan digigit oleh salah satu kucing yang ada pada segerombolan kucing tersebut sehingga Subyek kaget dan menangis seketika waktu karena luka ditanganya. Tangisan Subyek dan geraman si kucing pada saat itu membuat kucing-kucing yang lain pada bergerombol mendekati Subyek.
Sejak adanya kejadian tersebut, waktu kecil setiap Subyek melihat Kucing Subyek merasa takut dan menagis. Pengalaman yang tidak menyenagkan (Pengalaman Traumatis) di masa kecil Subyek tersebut, berkembang sampai saat ini hingga Subyek berumur 19 tahun jika Subyek bertemu atau berhadapan dengan obyek yang ditakutinya tersebut Subyek merasa takut yang berlebih.
Fobia yang ditimbulkan Subyek akibat pengalaman menakutkan pada masa kanak-kanak yang secara psikologis tidak dapat terselesaikan dengan baik. Rasa takut yang tidak tertanggulangi ini kemudian masuk ke alam bawah sadar Subyek, dan muncul kembali dalam bentuk fobia ketika Subyek berusia dewasa.
Karena pengalaman Traumatis yang sangat membekas pada ingatan yang dialami Subyek itulah, Subyek mengalami gangguan Fobia pada binatang Kucing. Banyak dari kasus fobia yang disebabkan karena suatu pengalaman traumatis, biasanya terdapat selang waktu antara pengalaman traumatis tersebut dengan berkembangnya fobia.
Trauma sendiri berasal dari kata Yunani yang berarti luka. Sebuah peristiwa traumatis mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi kecemasan di kemudian hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa trauma adalah salah satu penyebab seseorang menjadi fobia. Fobia itu seperti bola salju yang dijatuhkan di gunung salju, semakin menggelinding akan semakin besar. Semakin fobia tidak ditangani, maka akan terbentuk semakin parah.
Fobia atau ketakutan yang menetap dan berlebihan terhadap suatu objek atau situasi spesifik seperti ketakutan Subyek terhadap Obyek (binatang Kucing) tersebut disebut sebagai specific phobia. Fobia spesifik termasuk ke dalam jenis fobia sederhana yaitu jenis fobia yang muncul karena satu pemicu saja yang berupa objek atau situasi yang spesifik seperti yang dialami subyek yaitu ketakutan yang berlebih pada obyek (Kucing).
Menurut Gunawan (2006) ketakutan dan fobia tergantung pada karakter setiap orang. Ada orang yang mengalami peristiwa yang sama tetapi sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, seperti karakter subyek yaitu yang begitu terpengaruh sehingga subyek menjadi fobia.
 Orang yang fobia merasa terancam oleh sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya bagi hidupnya hal ini sesuai dengan apa yang di alami oleh Subyek. Namun, karena situasi yang dihadapi dianggap berbahaya, orang ini akan mengalami reaksi fisik dan emosional yang sama seperti saat ia benar-benar dalam situasi berbahaya yang akhirnya membuat orang itu menjadi tegang. Reaksi fisik dan emosional yang terlihat pada Subyek saat berhadapan dengan Obyek yang ditakutinya adalah rasa takut yang tidak terkendali, Jantung berdebar kencang, Gemetar dan lain-lain.


IX.    DIAGNOSIS
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh Observer, dapat disimpulkan bahwa Subyek (KH) saat ini mengalami gangguan kecemasan (Anxiety disorder) yaitu Fobia Khas terhadap binatang, yang ditandai dengan adanya ketakutan dan penghindaran yang tidak rasional pada binatang tertentu. Pada kasus diatas, Subyek (KH) hanya akan mengalami kecemasan atau ketakutan yang tidak terkendali ketika berhadapan dengan binatang, yakni Kucing.
Gangguan fobia khas yang dialami Subyek dikarenakan adanya pengalaman yang tidak menyenangkan di masa kanak-kanak Subyek yang terbawa sampai saat ini, yakni pengalaman traumatis terhadap Binatang Kucing.



DIAGNOSIS

KRITERIA PPDGJ

KRITERIA KASUS
KETERANGAN
TERPENUHI
TIDAK TERPENUHI
Aksis I
F 40.2
Fobia Khas (Terisolasi)
Memiliki ketakutan berlebihan dan tidak masuk akal ketika berhadapan dengan sebuah objek atau situasi spesifik.
Memiliki pemikiran yang tidak rasional terhadap binatang Kucing tersebut serta Mengalami ketakutan yang berlebihan saat berhadapan dengan Obyek yang ditakutinya tersebut (Kucing).

ü   

Respon kecemasan muncul terhadap objek atau situasi fobiknya, dan
cenderung mudah mengalami Panic Attack.
Munculnya respon gejala psikologis saat berhadapan dengan binatang yang ditakutinya (Kucing).


ü   

Orang itu menyadari bahwa ketakutannya berlebihan dan tidak masuk akal, namun tidak berdaya untuk mengatasinya.





Subyek menyadari ketakutannya yang berlebihan dan tidak masuk akal tersebut akan tetapi Subyek juga tidak berdaya untuk mengatasi rasa takutnya tersebut saat tak sengaja berhadapan dengan Obyek yang ditakutinya (Kucing).


ü   



Selalu menghindari dan mengantisipasi objek atau situasi yang ditakuti.
Selalu melakukan penghindaran atau melarikan diri ketika berhadapan dengan obyek yang ditakutinya (Kucing) dan selalu membuat antisipasi diri dalam setiap lokasi atau saat dalam  keadaan berhadapan dengan Obyek yang ditakutinya (Kucing).




ü   

Aksis II
F61.1 Perubahan kepribadian yang bermasalah

Tidak dapat diklasifikasikan pada F60 atau F62 dan dianggap sekunder terhadap suatu diagnosis utama berupa suatu gangguan afektif atau anxietas yang ada bersamaan

Subjek tidak terganggu dengan kepribadiannya, gangguan subjek bersifat ringan dan dapat Subyek hindari seperti dengan cara  menghindar dari obyek yang ditakutinya, gangguan perasaan dan kecemasan yang berlebihan subjek selalu bersama terlihat ketika subjek dihadapkan dengan Obyek yang ditakutinya.





ü   

Aksis III
-
-
-
-
Aksis IV
Terdapat masalah dengan “Primary Support Group” (Keluarga).
Pengalaman yang menakutkan atau Pengalaman Traumatis Subyek (dicakar dan digigit oleh salah satu kucing yang ada pada segerombolan kucing tersebut saat bermain dengan segerombolan Kucing) yang terjadi pada Subyek saat masa Kanak-kanak tidak dapat terselesaikan dengan baik karena tidak ada dukungan dari orang tua (agar anaknya tidak takut lagi) semenjak peristiwa tersebut hingga sampai saat ini.



ü   

Aksis V
Global Assessment Of Functioning (GAF) Scale.
80-71 = Gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial, pekerjaan, sekolah dan lain-lain.

Kriteria Fobia Khas yang dialami Subyek (KH) telah terpenuhi pada diri Subyek, namun gangguan psikologis tersebut yang ada pada diri Subyek (KH) dapat diminimalisir atau di sembuhkan dengan teknik penanganan atau pemberian treatment yang tepat.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi fobia yang ada. Segala tindakan tersebut intinya dilakukan untuk menghilangkan ketakutan, antara lain :
1.      Hypnotheraphy
Penderita fobia diberi sugesti-sugesti untuk menghilangkan fobia.
2.      Flooding
Exposure Treatment yang ekstrim. Jadi, penderita fobia yang takut kepada Kucing, dimasukkan ke dalam ruangan dengan beberapa ekor kucing, sampai ia tidak ketakutan lagi.
3.      Desentisisasi Sistematis
Dilakukan exposure bersifat ringan. Si penderita fobia yang takut  akan Kucing disuruh rileks dan membayangkan berada ditempat cagar alam yang indah dimana si penderita didatangi oleh Kucing-kucing lucu dan menggemaskan.
4.      Abreaksi
Penderita fobia yang takut pada anjing dibiasakan terlebih dahulu untuk melihat gambar atau film tentang kucing, bila sudah dapat  tenang baru kemudian dilanjutkan dengan melihat objek yang sesungguhnya dari jauh dan semakin dekat perlahan-lahan. Bila tidak ada halangan maka dapat dilanjutkan dengan memegang kucing dan bila phobianya hilang mereka akan dapat bermain-main dengan kucing. Namun untuk penderita traumatis memerlukan waktu yang cukup lama untuk sembuh dari fobianya.
5.      Reframing
Penderita fobia diminta membayangkan kembali menuju masa lampau dimana permulaannya si penderita mengalami fobia, di tempat itu dibentuk suatu manusia baru yang tidak takut lagi pada fobia-nya.
Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa fobia dapat di atasi dengan cara:
a.      Terapi berbicara. Perawatan ini seringkali efektif untuk mengatasi berbagai fobia. Jenis terapi bicara yang bisa digunakan adalah:
1.      Konseling: konselor biasanya akan mendengarkan permasalahan penderita fobia, seperti ketakutannya saat berhadapan dengan barang atau situasi yang membuatnya fobia. Setelah itu konselor akan memberikan cara untuk mengatasinya.
2.      Psikoterapi: seorang psikoterapis akan menggunakan pendekatan secara mendalam untuk menemukan penyebabnya dan memberi saran bagaimana cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.
3.      Terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioural Therapy/CBT): yaitu suatu konseling yang akan menggali pikiran, perasaan dan perilaku seseorang dalam rangka mengembangkan cara-cara praktif yang efektif untuk melawan fobia.

b.      Terapi pemaparan diri (Desensitisation). Orang yang mengalami fobia sederhana bisa diobati dengan menggunakan bentuk terapi perilaku yang dikenal dengan terapi pemaparan diri. Terapi ini dilakukan secara bertahap selama periode waktu tertentu dengan melibatkan objek atau situasi yang membuatnya takut. Secara perlahan-lahan seseorang akan mulai merasa tidak cemas atau takut lagi terhadap hal tersebut. Kadang-kadang dikombinasikan dengan pengobatan dan terapi perilaku.
c.       Menggunakan obat-obatan. Penggunaan obat sebenarnya tidak dianjurkan untuk mengatasi fobia, karena biasanya dengan terapi bicara saja sudah cukup berhasil. Namun, obat-obatan ini dipergunakan untuk mengatasi efek dari fobia seperti cemas yang berlebihan. Terdapat 3 jenis obat yang direkomendasikan untuk mengatasi kecemasan, yaitu: Antidepresan, Obat penenang, atau Beta-blocker.
Namun, sesungguhnya tidak ada obat yang paling ampuh untuk mengatasi fobia selain keyakinan penderita bahwa ia dapat mengatasinya dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari hal itu.