Tugas
Akhir Psikologi Klinis
Melakukan
Asesmen Gangguan Klinis Berdasarkan Analisis Diagnosis
Multiaksi PPDGJ
Diampu
Oleh:
Ibu
Rr. Dwi Astuti, S.Psi,
M.Si
DISUSUN
OLEH :
Eka Safa’ati (201360027)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MURIA
KUDUS
2014
I.
IDENTITAS
A. SUBYEK
Nama : KH
Jenis
Kelamin : Perempuan
Tempat
Tanggal Lahir : Kudus, 25 April 1995
Umur : 19 Tahun
Berat
Badan : 44 Kg
Tinggi
Badan : 160 Cm.
Anak Ke : 1 dari 3 Bersaudara
Agama : Islam
Pendidikan : Mahasiswa STAIN Kudus
Suku : Jawa
Alamat : Ds. Jepang Wetan
Rt. 02 Rw. 03 Mejobo Kudus.
B. IDENTITAS
KELUARGA
NAMA
|
L/P
|
UMUR
|
PENDIDIKAN
|
PEKERJAAN
|
KET
|
S
|
L
|
40
|
SMA
|
Wiraswasta
|
Ayah Kandung
|
I
|
P
|
37
|
SMA
|
Ibu Rumah Tangga
|
Ibu Kandung
|
KH
|
P
|
19
|
STAIN Kudus
|
Mahasiswa
|
Subyek
|
B
|
L
|
14
|
MTS
|
Pelajar
|
Adik Subyek
|
Z
|
L
|
12
|
MI
|
Pelajar
|
Adik Subyek
|
C. GENOGRAM
Keterangan:
Subyek anak pertama dari
tiga bersaudara.
II. AGENDA
KEGIATAN
Tanggal
|
Kegiatan
|
Tempat
|
22 November 2014
|
Observasi
|
Rumah Subyek
Jepang Wetan
|
23 November 2014
|
Observasi
|
Rumah Subyek
Jepang Wetan
|
25 November 2014
|
Observasi saat Subyek Istirahat mencari makan dll di Kampus.
|
Kantin Kampus
Warung Makan Kaki lima di Sekitar Kampus.
|
27 Desember 2014
|
Observasi saat Subyek Istirahat mencari makan dll di Kampus.
|
Kantin Kampus
Warung Makan Kaki lima di Sekitar Kampus.
|
01 Desember 2014
|
Autoanamnesis Subyek
|
Rumah Subyek
Jepang Wetan
|
02 Desember 2014
|
Alloanamnesis Sahabat Subyek yang Telah Berteman Sejak Dulu
|
Rumah Subyek
Jepang Wetan
|
04 Desember 2014
|
Alloanamnesis Teman sekampus Subyek
|
STAIN Kudus
|
06 Desember 2014
|
Alloanamnesis Tetangga Subyek
|
Jepang Wetan
|
07 Desember 2014
|
Alloanamnesis Orang Tua Subyek
|
Rumah Subyek
Jepang Wetan
|
III. KELUHAN
Keluhan dari orang tua Subyek adalah Subyek saat bertemu dengan obyek yang
ditakutinya tidak bisa mengontrol emosi ketakutannya sehingga kadang jika
diajak makan di luar rumah semisal di warung-warung makan terdekat dari rumah,
menurut Orang Tua Subyek, Subyek sangat begitu merepotkan dan membuat malu
mereka karena subyek suka berteriak dengan ketakutannya tersebut saat tidak
sengaja dihadapkan dengan obyek yang ditakutinya. sehingga ketika Orang Tua
Subyek mengajak makan di luar rumah saat Ibu subyek tidak memasak ke dua orang
tua Subyek selalu berfikir keras untuk mencari tempat yang murah dan tidak ada
obyek yang ditakuti oleh Subyek yaitu Kucing.
Keluhan dari Subyek sendiri ketika Subyek melihat atau berhadapan secara
langsung dengan objek yang ditakutinya tersebut, Subyek merasa takut yang tidak
terkendali yang ditandai dengan perubahan fisiologis yang sangat cepat seperti
detak jantung semakin berdebar kencang dua kali lipat dan berkeringat. Sehingga
hal tersebut menimbulkan dorongan untuk melarikan diri pada obyek yang di
takutinya.
Sejak kecil Subyek memiliki ketakutan yang amat sangat terhadap Kucing.
Meski yang dihadapi adalah seekor kucing yang lemah dan kurus sekalipun, tetap
saja Subyek merasa ketakutan.
Subyek juga merasa jijik bila harus menginjak lantai bekas pijakan kucing
yang lewat. Karena Subyek menganggap bahwa di telapak kaki kucing terdapat
banyak kuman yang menempel sehingga Apabila dia menginjak lantai bekas pijakan
kucing rasanya Subyek ingin mencuci kakinya sebersih mungkin. Tak hanya itu,
Subyek juga Jijik melihat Boneka berbentuk kucing.
Saat ini bila Subyek bertemu seekor kucing, dia merasa bahwa kucing
tersebut akan melompat kearahnya, mencakarnya bahkan memakannya.
IV. HASIL
PENGUMPULAN DATA
A. Observasi
1.
Observasi
Penampilan Fisik.
Subyek adalah seorang remaja perempuan dengan tinggi
160 cm dan memiliki berat badan 44 Kg. Berwajah tirus dan Berkulit Kuning
langsat dengan perawakan kurus tinggi, Tiap hari Subyek memakai Jilbab.
2.
Observasi
Lingkungan Fisik
Sabyek tinggal satu rumah bersama ayah dan ibu kandung
Subyek serta adik-adik Subyek. Rumah Subyek dekat dengan rumah-rumah pengusaha
konveksi tas.
Di depan rumah Subyek terdapat kolam ikan dan taman
dengan ukuran yang kecil. Di belakang rumah terdapat kandang ayam, angsa dan
burung dara. Di samping rumah juga terdapat kandang ayam milik ayah Subyek.
rumah Subyek berdiri permanen dengan ukuran yang lumayan besar, memiliki 3
kamar tidur, ruang tamu dan ruang makan. Kemudian terdapat pula dapur dan kamar
mandi serta garansi untuk ukuran mobil yang berada pada satu jalur. Garansi
tersebut sekarang digunakan sebagai tempat usaha konveksi tas Ayah Subyek
dengan 4 karyawannya.
3.
Observasi saat
Subyek Istirahat Mencari makan/Mengisi perut di kampus
Tiap kali Subyek diajak teman-temannya untuk makan
siang yang dimana tempatnya Subyek rasa ada obyek yang di takutinya, Subyek
selalu menolak ajakan tersebut dan Subyek rela untuk tidak makan siang dan
hanya makan-makanan ringan saja di kampus daripada makan dan bertemu dengan
obyek yang ditakutinya. Pernah suatu hari Subyek diajak ke warung makan terbaru
yang berada lumayan jauh dari kampusnya dan tak sengaja bertemu dengan obyek
yang ditakutinya, Subyek terlihat ketakutan padahal, kucing tersebut hanya diam
dan tidur dengan nyenyak dan tidak sedang menghampiri Subyek. pada saat itu
Subyek Sempat meminta teman-temanya untuk mengusir kucing tersebut walaupun
sudah di usir, Subyek tetap tidak dapat makan dengan tenang dan terus menerus
mengamati keadaan disekitar. Tindakan minimal ketika Subyek makan dan bertemu
dengan kucing adalah makan dengan terburu-buru sambil matanya tidak
henti-hentinya mengawasi kucing tersebut. Dan bila ada tanda-tanda si kucing
mulai mendekatinya, maka Subyek akan segera mengambil ancang-ancang untuk berdiri dan siap kabur dari tempat tersebut.
B. Wawancara
1.
Autoanamnesa
Terhadap Subyek (KH)
Subyek mengaku, bahwa sejak kecil Subyek memiliki
ketakutan yang amat sangat terhadap Kucing. Meski yang Subyek hadapi adalah
kucing yang kurus dan lemah sekalipun. Ketakutan tersebut menimbulkan dorongan
untuk segera malarikan diri. Tutur Subyek.
Subyek juga mengaku, mengetahui ketakutan Subyek
terhadap kucing tersebut subyek segaja untuk merahasiakan hal tersebut kepada
teman-temannya yang lain yang belum mengetahuinya karena Subyek takut dianggap
gila oleh orang lain atau malah di buat bahan olokan, bahan jailan
teman-temannya yang lain dengan menggunakan binatang kucing tersebut.
Saat ditanya mengenai kenapa Subyek merasa takut yang
berlebih terhadap obyek yang ditakutinya (Kucing), dari pertanyaan yang
diajukan oleh observer kepada Subyek
tersebut jawaban yang Observer
tangkap dari Subyek adalah jawaban-jawaban yang tidak irasional (tidak ada alasan yang nyata) yang ditimbulkan oleh suatu
stimulus obyek atau situasi tertentu tersebut seperti ketika atau saat Subyek
bertemu dengan seekor Kucing dia merasa bahwa kucing tersebut akan melompat
kearahnya kemudian mencakar dan memakan diri Subyek.Selain rasa takut Subyek
juga merasa jijik bila menginjak lantai bekas pijakan atau boneka menyerupai obyek
yang ditakutinya (Kucing).
Subyek juga mengaku bila Subyek sedang makan dipinggir
jalan misalnya, dan tiba-tiba ada seekor kucing mendekati Subyek, maka Subyek
langsung mengambil langkah seribu (berteriak, lari dll), meski makanan yang ada
dipiringnya masih utuh dan belum dimakan sedikitpun ataupun tindakan minimal yang
Subyek ambil adalah makan dengan terburu-buru sambil mata tak henti-hentinya
mengawasi tingkah polah kucing tersebut dan apabila ada tanda-tanda kucing
tersebut mulai mendekatinya, maka Subyek siap mengambil ancang-ancang berdiri dan siap untuk kabur dari tempat makan
tersebut, Tutur Subyek.
Pengalaman Subyek bertemu dengan binatang yang
ditakutinya tersebut tidak hanya pada saat-saat makan dan lain-lain akan tetapi
masih banyak lagi salah satunya yaitu Subyek pernah mempunyai pengalaman pada
saat pulang dari kampus ke rumah Subyek.
Ketika Subyek mau masuk ke dalam rumah ,Subyek melihat seekor kucing
yang sedang melingkar tidur dengan nyamannya di karpet pintu depan rumahnya,
alhasil Subyek mengaku tidak berani untuk masuk dan rela menunggu diluar sampai
ada orang yang dapat dimintai pertolongan untuk mengusir kucing tersebut.
Walaupun kucing tersebut sudah diusir, Subyek tetap masih merasa takut untuk
masuk ke dalam rumah lewat pintu depat tersebut. Alhasil Subyek nekat untuk
masuk ke dalam rumah lewat jendela yang mengarah langsung ke kamar tidur milik
Subyek.
Subyek
juga menyadari bahwa ketakutannya tidak beralasan dan berlebihan, namun Subyek
sendiri tidak berdaya untuk mengatasinya.
2.
Alloanamnesis
Sahabat Subyek (P)
P adalah salah satu sahabat Subyek dari dua sahabat
Subyek yang lain. P mengaku telah menjalin Pertemanan dengan Subyek selama 7
tahun hingga kini, Sehingga P mengenal dekat dengan Subyek mulai dari sifat,
katakutan terhadap salah satu binatang dan lain-lain.
Mendengar hal tersebut, observer menanyakan lebih lanjut
kepada P mengenai ketakutan Subyek terhadap salah satu binatang tersebut. P
mengaku bahwa Subyek takut terhadap binatang kucing, ketika Subyek dihadapkan
atau tidak sengaja dihadapkan oleh seekor kucing P mengaku kepada Observer bahwa Subyek akan mengambil ancang-ancang untuk lari, berteriak
minta tolong dan lain-lain. Pada saat wawancara berlangsung P juga menceritakan
peristiwa pengalaman Subyek saat dikelas. Dulu saat masih dibangku MTS ruang
kelas P dan Subyek (yang satu kelas) berada dekat dengan kantin sekolah.
Tidak tahu kenapa yang dulunya selama P dan Subyek di
bangku MTS kantin sekolah tidak ada kucingnya, yang tiba-tiba dikantin sekolah
ada kucing yang lucu, kecil mungil dan imut menurut P, mengetahui hal tersebut
P memang tidak memberi tahu kepada Subyek yang pada saat itu sedang makan bersamanya
di kantin. Kalau saja semisal hal tersebut di ketahui Subyek, P yakin suasana
di kantin tersebut akan ramai karena teman-teman yang melihat Subyek ketakutan
dan membuat malu dirinya dan Subyek.
Tidak tahu kenapa tiba-tiba kucing tersebut berada
diruang kelas mereka yang sedang diajak bermain oleh teman-teman yang lain di
dalam kelas, mengetahui hal tersebut Subyek tidak berani memasuki ruang
kelasnya walaupun kucing tersebut sudah dipindahkan atau di usir oleh P dari
ruang kelas mereka. Bahkan Subyek rela untuk tidak mengikuti kegiatan
pembelajaran selanjutnya dan memilih untuk pergi ke UKS.
Pada saat itu, P sempat bertanya mengenai alasan
Subyek takut terhadap kucing, P menertawakan Subyek karena alasan yang P dengar
dari Subyek tidak masuk akal, dari P Subyek mengaku bahwa ketika Subyek bertemu
seekor kucing, kucing tersebut akan mencakarnya, melompat bahkan memakan
dirinya. Mendengar alasan tersebut P menjelaskan kepada Observer dengan tertawa terbahak-bahak. Pernah suatu hari P ingin
sekali membantu Subyek untuk tidak takut lagi terhadap kucing, akan tetapi
Subyek marah bahkan mendengar kata kucing disebut saja Subyek sudah merasa
takut dan risih.
Ada lagi pengalaman P bersama Subyek dengan ketakutan
dan penghindaran Subyek kepada Kucing, sewaktu di bangku MA, ceritanya hampir
sama seperti pada waktu di bangku MTS akan tetapi kejadian tersebut Subyek
berada di dalam kelas dan tiba-tiba kucing kecil berwarna Putih kecoklatan
masuk kedalam kelas. Pada saat itu P melihat Subyek berusaha memberanikan diri
untuk mengusir Kucing tersebut akan tetapi usahanya mengusir kucing tersebut
tidak berhasil, Subyek malah di kejar-kejar Kucing tersebut berlarian kesana
kemari sehingga membuat kelas-kelas yang lain pada gaduh dan penasaran karena
teriakan Subyek saat lari di kejar Kucing. Hal tersebut menambah rasa takutnya
terhadap Kucing.
3.
Alloanamnesis
Teman sekampus Subyek (Y)
Pada awalnya, salah satu teman sekampus Subyek ini
tidak mengetahui kalau Subyek takut dengan binatang kucing. Y mengetahui kalau
Subyek takut dengan kucing ketika Y dan teman-teman sekelasnya yang lain
mengajak Subyek untuk makan siang di warung pinggir jalan dekat kampus. Y
mengaku pada awalnya Subyek menolak ajakan teman-temannya terebut akan tetapi
setelah dipaksa oleh teman-teman yang lain terutama Y akhirnya Subyek mau makan
di pinggir jalan.
Y berkata, Pada saat itu kita sangat menikmati suasana
keramaian yang ada sambil menunggu pesanan datang. Tiba-tiba tidak disangka di
bawah meja makan kami terdengar suara kucing yang keluar dari meja tempat makan
kami, sontak kita semua terkaget, bukan kaget karena kucing tersebut akan
tetapi karena teriakan Subyek yang sangat keras minta tolong dan sambil
melarikan diri hingga menabrak alu lalang orang-orang di sekitar. Tak hanya Y
dan teman-teman yang lainya kaget akan tetapi semua orang dengan mata tertuju
pada meja tempat kita makan dan masing-masing sontak menghentikan aktivitas
makannya.
Y juga berkata setelah itu Subyek tidak mau masuk dan
malanjutkan atau menghabiskan makananya walaupun kucing tersebut sudah diusir
dari tempat makan tersebut. Subyek lebih memilih untuk tidak makan dan hanya
menunggu teman-temannya menghabiskan makanan mereka sambil menenangkan diri di
dalam ruang perkuliahan untuk mata kuliah selanjutnya. Y juga mengaku pada saat
kejadian Subyek terlihat ketakutan dan gemetar serta wajah Subyek terlihat
memerah dan berkeringat.
4.
Alloanamnesis
Tetangga Subyek (Ibu E)
Ibu E adalah tetangga dekat Subyek rumahnya berada
tepat di samping rumah Subyek, menurut Ibu E, sudak sejak kecil ketakutan yang
dialami oleh Subyek pada binatang kucing. Tidak hanya rasa takut saja akan
tetapi rasa takut yang amat sangat terhadap binatang kucing tersebut, Tutur Ibu
E.
Ibu E juga mengatakan ketakutan tersebut tidak hanya
pada kucing yang memiliki postur tubuh besar dan gemuk akan tetapi juga pada
kucing yang lemah dan kurus serta kecil sekalipun tetap saja Subyek merasa
ketakutan.
Mengetahui ketakutan Subyek terhadap kucing tersebut,
anak dari Ibu E kadang suka jail dan menakut-nakuti Subyek dengan menggunakan
kucing peliharaan anaknya Ibu E. Walaupun hanya dengan menyebut nama kucing
tersebut Subyek sudah merasa ketakutan dan lari atau menghindar.
5.
Alloanamnesis
kedua orang Tua Subyek (Bpk. S dan Ibu I)
Kedua orang tua Subyek mengakui bahwa sejak kecil,
Subyek waktu berumur 3 tahun takut terhadap kucing. Ibu I juga mengatakan,
meskipun kucing yang Subyek hadapi adalah seekor kucing yang berukuran kecil,
kurus dan lemah sekalipun. Kedua orang tua Subyek juga berkata, Dari riwayat
keluargapun tidak ada yang mengalami hal yang seperti itu, yaitu merasa takut
yang berlebihan akan suatu hal atau binatang.
Seingat ibu I, dulu waktu kecil saat Subyek berumur 2
Tahun Subyek suka sekali bermain bersama kucing. Hingga suatu hari saat Subyek
berumur 3 tahun Subyek bermain dengan segerombolan kucing, entah tak tahu
kenapa saat Subyek bermain dengan kucing-kucing tersebut Subyek dicakar dan
digigit oleh salah satu kucing yang ada pada segerombolan kucing tersebut
sehingga Subyek kaget dan menangis seketika waktu karena luka ditanganya.
Tangisan Subyek dan geraman si kucing membuat kucing-kucing yang lain pada
bergerombol mendekati Subyek.
Menurut kedua orang tuanya semenjak kejadian tersebut,
ketika Subyek melihat kucing, Subyek merasa takut dan berlari minta tolong ke
Ibu atau Bapaknya sambil menangis. Bpk. S pun juga berkata semenjak kejadian
itu pula ketika Subyek mendengar suara kucing yang hanya mengeluarkan suara
mengeong saja Subyek menangis ketakutan.
V. ETIOLOGI
Sejak kecil Subyek senang sekali bermain dengan kucing akan tetapi, Saat
Subyek (KH) berusia 3 tahun Subyek (KH) mengalami rasa takut yang berlebihan
pada obyek yang Subyek (KH) takuti yaitu Kucing. Hal tersebut dikarenakan
Subyek (KH) mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dengan obyek binatang
yang ditakutinya tersebut (Kucing).
Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut terjadi pada saat Subyek
bermain dengan segerombolan kucing dan entah kenapa saat Subyek bermain dengan
kucing-kucing tersebut Subyek dicakar dan digigit oleh salah satu kucing yang
ada pada segerombolan kucing tersebut sehingga Subyek kaget dan menangis
seketika waktu karena luka ditanganya. Tangisan Subyek dan geraman si kucing
pada saat itu membuat kucing-kucing yang lain pada bergerombol mendekati
Subyek.
Sejak adanya kejadian tersebut, waktu kecil setiap Subyek melihat Kucing
Subyek merasa takut dan menagis. Pengalaman yang tidak menyenagkan (traumatis)
di masa kecil Subyek tersebut, berkembang sampai saat ini hingga Subyek berumur
19 tahun jika Subyek bertemu atau berhadapan dengan obyek yang ditakutinya
tersebut Subyek merasa takut sehingga detak jantungnya berdebar kencang dua
kali lipat dari sebelumnya sehingga menimbulkan dorongan untuk lari atau
menghindar dari obyek yang ditakutinya tersebut.
VI. PERMASALAHAN
A. Kondisi
Kognitif
Terdapat pemikiran yang tidak rasional yang dimiliki
Subyek ketika Subyek berhadapan dengan Kucing, yaitu Obyek yang ditakutinya.
Munculnya pemikiran yang tidak rasional tersebut seperti ketika atau saat
Subyek bertemu dengan seekor Kucing dia merasa bahwa kucing tersebut akan
melompat kearahnya kemudian mencakar dan memakan diri Subyek.
Subyek juga selalu memikirkan situasi dan kemungkinan
bahaya yang akan terjadi pada dirinya. Subyek secara terus menerus terlalu
melebih-lebihkan derajat bahaya maupun kemungkinan bahaya terhadap obyek yang
ditakutinya tersebut. Hal tersebut menjadikan Subyek selalu siaga berlebihan
dan selalu mencari tanda-tanda bahaya pada obyek yang ditakutinya (Kucing)
sehingga Subyek sulit untuk berkonsentrasi. Hal ini terjadi karena perasaan
was-was Subyek terhadap obyek yang ditakutinya.
B. Kondisi
Fisik
Pada keadaan normal (saat tidak berhadapan dengan
Kucing) Kondisi fisik Subyek sama seperti orang normal yang lain akan tetapi
saat Subyek berhadapan dengan obyek yang ditakutinya (Kucing), Subyek merasa
gemetar serta wajah Subyek terlihat memerah, berkeringat, dan detak jantung
yang semakin berdebar kencang dua kali lipat. Tak hanya fisik saja akan tetapi
kondisi psikis Subyek juga terlihat seperti Subyek merasa ketakutan dan panik
saat berhadapan dengan kucing.
C. Kondisi
Emosi
Subyek memiliki emosi yang berlebih dan tidak
terkontrol seperti rasa takut, cemas dan lain-lain pada saat Subyek dihadapkan
dengan Obyek yang ditakutinya yaitu Kucing dengan pemikiran rasa takut yang
tidak rasional (tidak ada alasan yang nyata) yang ditimbulkan oleh suatu
stimulus pada obyek yang ditakutinya sehingga menimbulkan dorongan untuk lari
atau menghindar dari obyek yang ditakutinya tersebut.
D. Kondisi
Sosial
Jarang meninggalkan rumah atau keluar rumah dan takut
untuk makan di warung kaki lima atau warung yang baru subyek kenal karena rasa
takut atau khawatir Subyek jika Subyek berhadapan dengan obyek yang ditakutinya
(kucing). Hal tersebut mempengaruhi Subyek dalam beraktivitas untuk pergi ke
tempat-tempat lain dan menghalangi Subyek menikmati sesuatu saat subyek makan
dan lain-lain di warung makan.
VII. DASAR TEORI
Fobia adalah rasa takut yang tidak normal dan
irasional (sulit dijelaskan alasannya) terhadap sesuatu (baik benda maupun
situasi) secara berlebihan. Kata fobia sendiri berasal dari bahasa Yunani “phobos”
yang artinya “fear” (ketakutan). Pertama kali kata fobia diperkenalkan
sebagai istilah kedokteran oleh Celsus, seorang Romawi pencipta ensiklopedi. Pada
tahun 1895, Henry Maudsley (1835-1918), seorang psikiater dan penulis asal Inggris
menganjurkan untuk memberi nama khusus untuk setiap fobia.
Menurut Atkitson (2005: 253) mengatakan Istilah
"phobia" berasal dari kata "phobi" yang artinya ketakutan
atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan dan dialami oleh
sesorang. Phobia merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh ketakutan yang
menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi
tertentu. Ciri psikis adalah rasa cemas/ panik, tetapi tanpa dasar yang
jelas, sedangkan ciri fisik misalnya : gemetar, jantung berdebar-debar, terkadang
disertai nafas tersengal-sengal.
Rasa takut atau cemas adalah hal yang wajar dialami
oleh manusia. Rasa takut bukan hanya emosi yang normal, tetapi juga emosi yang
esensial. Orang yang tidak punya rasa takut justru berada dalam bahaya yang
serius, karena rasa takut adalah mekanisme mempertahankan atau melindungi diri
dari situasi yang mengancam. Sebagian orang mengalami ketakutan lebih dari orang
lain. Takut tidak hanya emosi, bersamaan dengan itu akan muncul juga reaksi
pada badan jasmani kita, misalnya keringat dingin, gemetar, otot lemas, pucat,
tubuh kaku, dan sebagainya.
Namun fobia berbeda dengan ketakutan yang biasa.
Fobia adalah ketakutan yang hebat, di luar proporsi tuntutan situasi. Fobia
tidak memiliki alasan yang rasional dan di luar kontrol si penderitanya. Banyak
orang tidak suka dengan ular atau laba-laba, tapi beberapa orang memiliki
ketakutan
yang berlebihan. Bahkan sebuah gambar atau pikiran tentang ular atau laba-laba
membuat penderita fobia ini mengalami peningkatan tekanan darah, jantung
berdebar, dan peningkatan sekresi hormon kortisol.
Bagian pada otak yang terisolasi dengan fobia,
Menurut pembahasan neurobiology fobia terjadi pada bagian otak yang disebut
amigdala dan hipokampus. Suatu peristiwa direkam oleh amigdala dan hipokampus,
terkungkung dalam loop saraf-saraf bagian tersebut. Sehingga setiap kali
situasi yang identik tersebut terjadi, maka “rekaman” tersebut akan diputar
berulang-ulang. Hal ini lah yang menyebabkan orang yang memiliki trauma akan
sesuatu menjadi fobia juga terhadap sesuatu itu. Respon yang ditimbulkan juga
atas pengaruh dari otak. Yaitu ketika amigdala memicu sekresi hormon yang
mempengaruhi ketakutan dan agresi. Ketika respon rasa takut atau agresi
dimulai, amigdala dapat memicu pelepasan hormon ke dalam tubuh untuk
menempatkan tubuh manusia menjadi kondisi waspada, di mana mereka siap untuk
bergerak, berlari, melawan, dan lain-lain.
Fobia bisa diderita oleh siapa saja tanpa batasan
usia dan jenis kelamin. Penderita fobia menyadari bahwa ketakutannya tidak
beralasan dan berlebihan, namun ia sendiri tidak berdaya untuk mengatasinya.
Pada tingkat yang ekstrim, penderita fobia akan merasa ia akan menjadi gila
karena
ketakutan yang membayanginya.
Sebagian fobia disebabkan karena pengalaman
traumatis, yang seringkali terjadi pada masa kanak-kanak. Seorang anak yang
digigit oleh anjing mungkin di kemudian hari akan takut dengan semua anjing,
meskipun si anak bahkan sudah lupa dengan pengalaman itu. Pengalaman seseorang terjebak
di lift juga bisa menyebabkan fobia terhadap lift, atau bahkan lebih parah lagi
bisa tergeneralisasi menjadi takut berada dalam ruangan sempit dan tertutup.
Ada sebuah perbedaan sudut pandang antara pengamat
fobia (orang yang dalam satu kasus tidak mengidap fobia) dengan seorang pengidap
fobia. Pengamat fobia menggunakan logikanya, sedangkan pengidap fobia tidak. Bagi
si pengamat fobia, seekor laba-laba mungkin hanya seekor binatang kecil berkaki
8 yang akan mati dalam sekali pukul, namun bagi pengidap fobia, hadirnya seekor
laba-laba di depan dirinya adalah ketakutan terbesar dalam hidupnya.
Reaksi paling umum dari seorang yang mengidap fobia
adalah menghindari (avoid) objek/situasi yang mereka takuti. Namun bukan
tidak mungkin seorang pengidap fobia justru melawan. Misalnya untuk kasus fobia
terhadap laba-laba, yang umum dilakukan penderita fobia laba-laba adalah
memeriksa seluruh sudut ruangan yang ia masuki, memastikan tidak ada laba-laba
baru ia dapat merasa aman, dan jika ada laba-laba, ia akan pergi menghindari
laba-laba itu. Tapi ada beberapa penderita yang justru dengan histeris
mendatangi laba-laba itu dan membunuhnya tanpa ampun sampai benar-benar yakin
kalau laba-laba yang ia lihat sudah mati.
Namun reaksi ini lebih jarang terjadi, pada umumnya
penderita fobia lebih memilih menghindar daripada melawan. Secara umum,
penyebab fobia biasanya adalah:
1. Suatu
peristiwa yang menyebabkan trauma.
Contoh:
Seseorang pernah dicakar kucing sewaktu kecil dan menjadi pengalaman yang
traumatis. Ketika sudah dewasa, ia menjadi fobia terhadap kucing.
2. Budaya
dan keyakinan.
Contoh:
Seseorang memegang budaya/keyakinan yang mengatakan bahwa warna putih adalah
warna yang tidak baik karena melambangkan kematian. Selanjutnya orang ini
menunjukkan ketakutan berlebihan (fobia) terhadap warna putih.
3. Pola
asuh yang keliru.
Contoh:
Seseorang ketika kecil terlalu diproteksi oleh orang tuanya (orang tuanya over
protective). Orang tuanya tidak pernah mengijinkan anaknya memegang jarum
dengan alasan berbahaya. Akibatnya karena ini berlangsung terus-menerus, ketika
si anak besar ia menjadi fobia terhadap jarum suntik.
4. Permodelan
dan pengkondisian.
Contoh
: Orang tua seseorang memiliki fobia terhadap lebah dan menunjukkan sikap
ketakutan ketika ada lebah di dekatnya. Hal ini terus dilihat oleh anaknya,
sehingga anaknya ikut menganggap bahwa lebah adalah hewan yang menakutkan dan
menjadi fobia lebah.
Sebagian besar
penderita fobia menyembunyikan ketakutannya, atau tidak berterus terang kepada
orang lain soal rasa takutnya yang tak wajar karena takut dianggap gila atau
sakit jiwa oleh orang lain. Sebenarnya fobia bukanlah gangguan mental yang
serius, orang yang menderita fobia tetap bisa beraktivitas normal dengan cara
menghindari sumber rasa takutnya.
Fobia atau ketakutan yang menetap dan berlebihan
terhadap sesuatu objek atau situasi spesifik seperti ketakutan terhadap
binatang, benda atau situasi tertentu disebut specific phobia (APA,
2000). Specific phobia sering bermula pada masa kanak-kanak. Banyak anak
yang mengembangkan ketakutan terhadap objek atau situasi spesifik, tetapi hal
ini akan berlalu, akan tetapi pada beberapa orang, ketakutan ini akan terus
berlanjut menjadi fobia kronis yang signifikan secara klinis (Nevid, 2005).
Specific phobia adalah
salah satu gangguan yang paling banyak dialami oleh anak-anak. Flatt dan King
(2008), menunjukkan bahwa fobia pada anak biasanya berupa fobia pada hewan atau
situasi tertentu yang dapat menyebabkan ketidakmampuan dalam menjalani hubungan
dengan orang lain, sosial dan kompetensi akademik. Karena itu sangat penting
untuk menyembuhkan fobia pada anak-anak maupun orang dewasa secepatnya agar
tidak menjadi lebih serius.
Specific phobia adalah
salah satu gangguan psikologis yang paling umum, sekitar 7-11% dari populasi
umum (APA, 2000). Specific phobia cenderung berlangsung terus menerus
selama bertahun-tahun atau selama beberapa dekade kecuali bila ditangani dengan
baik, dan biasanya perempuan mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar
dibandingkan laki-laki untuk mengalami specific phobia (Nevid, 2005).
Fobia spesifik diklasifikasikan lagi menjadi
beberapa sub-tipe, yaitu :
1. Animal
Type:
ketakutan disebabkan oleh hewan.
2. Natural
Environment Type: ketakutan disebabkan oleh lingkungan
alam seperti guntur, air, dan sebagainya.
3. Blood-Injection-Injury
Type:
ketakutan disebabkan oleh hal yang berkaitan dengan darah dan rasa sakit.
4. Situational
Type:
ketakutan yang disebabkan oleh suatu situasi yang spesifik.
5. Other
Type:
ketakutan disebabkan oleh suatu objek yang tertentu.
Fobia terbagi ke dalam 2 jenis, yaitu fobia
sederhana (simple phobia) dan fobia kompleks (complex phobia).
Perbedaannya adalah:
1.
Fobia kompleks (complex phobia)
Fobia
kompleks berhubungan dengan banyak pemicu. Jenis fobia ini biasanya merupakan
gejala dari beberapa masalah psikologis yang belum terselesaikan. Misalnya
orang yang fobia berbicara di depan umum, masalah utama sebenarnya adalah
rendah diri, minder dan kurangnya percaya diri akibat mempunyai pengalaman memalukan
di depan umum dan mengaitkan emosi negatif tersebut ketika berbicara di depan
umum. Yang termasuk dalam jenis fobia kompleks adalah agorafobia dan fobia
sosial.
2. Fobia
sederhana (simple phobia)
Fobia
sederhana adalah jenis fobia yang muncul karena satu pemicu saja yang berupa
objek atau situasi yang spesifik. Fobia spesifik termasuk ke dalam jenis fobia
sederhana.
Secara keseluruhan,
perbandingan jumlah penderita fobia spesifik wanita dengan pria adalah 2:1.
Namun rasio ini bervariasi menurut sub-tipenya, misalnya untuk sub-tipe Animal
dan Natural Environment penderitanya 75-90% adalah wanita, lalu
untuk sub-tipe Situational 55- 70% penderitanya adalah wanita dan untuk
sub-tipe Blood-Injection-Injury sekitar 55-70% penderitanya adalah wanita.
Bila seseorang yang
menderita phobia melihat atau bertemu atau berada pada situasi yang membuatnya
takut (phobia), gejalanya adalah sebagai berikut: Jantung berdebar kencang, Kesulitan
mengatur napas, Dada terasa sakit, Wajah memerah dan berkeringat, Merasa sakit,
Gemetar, Pusing, Mulut terasa kering, Merasa perlu pergi ke toilet, Merasa
lemas dan akhirnya pingsan.
Kriteria seseorang
dapat didiagnosa menderita fobia spesifik:
1.
Memiliki ketakutan berlebihan dan tidak
masuk akal ketika berhadapan dengan sebuah objek atau situasi spesifik.
2.
Respon kecemasan muncul terhadap
objek/situasi fobiknya, dan cenderung mudah mengalami Panic Attack.
3.
Orang itu menyadari bahwa ketakutannya
berlebihan dan tidak masuk akal, namun tidak berdaya untuk mengatasinya.
4.
Selalu menghindari dan mengantisipasi
objek/situasi yang ditakuti.
5.
Untuk usia 18 tahun ke bawah, hal ini
berlangsung selama setidaknya 6 bulan.
VIII. DINAMIKA
PSIKOLOGI
Fobia adalah
rasa takut yang tidak normal dan irrasional
(sulit dijelaskan alasannya) terhadap sesuatu (baik benda maupun situasi)
secara berlebihan. Atkitson (2005: 253) juga mengatakan bahwa fobia adalah
ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan dan
dialami oleh sesorang. Hal inilah yang menjadi gangguan psikologis pada Subyek
yang mengalami rasa takut yang berlebihan dan tidak rasional terhadap Binatang
kucing (Fobia Kucing).
Sejak kecil Subyek senang sekali bermain dengan kucing akan tetapi, Saat
Subyek (KH) berusia 3 tahun Subyek (KH) mengalami rasa takut yang berlebihan
pada obyek yang Subyek (KH) takuti yaitu Kucing. Hal tersebut dikarenakan
Subyek (KH) mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dengan obyek binatang
yang ditakutinya tersebut (Kucing).
Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut terjadi pada saat Subyek
bermain dengan segerombolan kucing dan entah kenapa saat Subyek bermain dengan
kucing-kucing tersebut Subyek dicakar dan digigit oleh salah satu kucing yang
ada pada segerombolan kucing tersebut sehingga Subyek kaget dan menangis
seketika waktu karena luka ditanganya. Tangisan Subyek dan geraman si kucing
pada saat itu membuat kucing-kucing yang lain pada bergerombol mendekati
Subyek.
Sejak adanya kejadian tersebut, waktu kecil setiap Subyek melihat Kucing
Subyek merasa takut dan menagis. Pengalaman yang tidak menyenagkan (Pengalaman
Traumatis) di masa kecil Subyek tersebut, berkembang sampai saat ini hingga
Subyek berumur 19 tahun jika Subyek bertemu atau berhadapan dengan obyek yang
ditakutinya tersebut Subyek merasa takut yang berlebih.
Fobia yang
ditimbulkan Subyek akibat pengalaman menakutkan pada masa kanak-kanak yang
secara psikologis tidak dapat terselesaikan dengan baik. Rasa takut yang tidak
tertanggulangi ini kemudian masuk ke alam bawah sadar Subyek, dan muncul
kembali dalam bentuk fobia ketika Subyek berusia dewasa.
Karena
pengalaman Traumatis yang sangat membekas pada ingatan yang dialami Subyek
itulah, Subyek mengalami gangguan Fobia pada binatang Kucing. Banyak dari kasus
fobia yang disebabkan karena suatu pengalaman traumatis, biasanya terdapat
selang waktu antara pengalaman traumatis tersebut dengan berkembangnya fobia.
Trauma sendiri
berasal dari kata Yunani yang berarti luka. Sebuah peristiwa traumatis
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi kecemasan di kemudian hari.
Jadi dapat disimpulkan bahwa trauma adalah salah satu penyebab seseorang
menjadi fobia. Fobia itu seperti bola salju yang dijatuhkan di gunung salju,
semakin menggelinding akan semakin besar. Semakin fobia tidak ditangani, maka
akan terbentuk semakin parah.
Fobia atau
ketakutan yang menetap dan berlebihan terhadap suatu objek atau situasi
spesifik seperti ketakutan Subyek terhadap Obyek (binatang Kucing) tersebut
disebut sebagai specific phobia. Fobia spesifik termasuk ke dalam jenis
fobia sederhana yaitu jenis fobia yang muncul karena satu pemicu saja yang
berupa objek atau situasi yang spesifik seperti yang dialami subyek yaitu
ketakutan yang berlebih pada obyek (Kucing).
Menurut Gunawan
(2006) ketakutan dan fobia tergantung pada karakter setiap orang. Ada orang
yang mengalami peristiwa yang sama tetapi sama sekali tidak terpengaruh.
Sebaliknya, seperti karakter subyek yaitu yang begitu terpengaruh sehingga
subyek menjadi fobia.
Orang yang fobia merasa terancam oleh sesuatu
yang sebenarnya tidak berbahaya bagi hidupnya hal ini sesuai dengan apa yang di
alami oleh Subyek. Namun, karena situasi yang dihadapi dianggap berbahaya,
orang ini akan mengalami reaksi fisik dan emosional yang sama seperti saat ia
benar-benar dalam situasi berbahaya yang akhirnya membuat orang itu menjadi
tegang. Reaksi fisik dan emosional yang terlihat pada Subyek saat berhadapan
dengan Obyek yang ditakutinya adalah rasa takut yang tidak terkendali, Jantung
berdebar kencang, Gemetar dan lain-lain.
IX. DIAGNOSIS
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh
Observer, dapat disimpulkan bahwa Subyek (KH) saat ini mengalami gangguan
kecemasan (Anxiety disorder) yaitu Fobia Khas terhadap binatang, yang ditandai
dengan adanya ketakutan dan penghindaran yang tidak rasional pada binatang
tertentu. Pada kasus diatas, Subyek (KH) hanya akan mengalami kecemasan atau
ketakutan yang tidak terkendali ketika berhadapan dengan binatang, yakni Kucing.
Gangguan fobia khas yang dialami Subyek dikarenakan adanya pengalaman
yang tidak menyenangkan di masa kanak-kanak Subyek yang terbawa sampai saat
ini, yakni pengalaman traumatis terhadap Binatang Kucing.
DIAGNOSIS
|
KRITERIA PPDGJ
|
KRITERIA KASUS
|
KETERANGAN
|
|
TERPENUHI
|
TIDAK TERPENUHI
|
|||
Aksis
I
F 40.2
Fobia Khas (Terisolasi)
|
Memiliki ketakutan berlebihan dan
tidak masuk akal ketika berhadapan dengan sebuah objek atau situasi spesifik.
|
Memiliki
pemikiran yang tidak rasional terhadap binatang Kucing tersebut serta
Mengalami ketakutan yang berlebihan saat berhadapan dengan Obyek yang
ditakutinya tersebut (Kucing).
|
ü
|
|
Respon kecemasan muncul terhadap objek
atau situasi fobiknya, dan
cenderung mudah mengalami Panic
Attack.
|
Munculnya
respon gejala psikologis saat berhadapan dengan binatang yang ditakutinya
(Kucing).
|
ü
|
|
|
Orang itu menyadari bahwa ketakutannya
berlebihan dan tidak masuk akal, namun tidak berdaya untuk mengatasinya.
|
Subyek
menyadari ketakutannya yang berlebihan dan tidak masuk akal tersebut akan
tetapi Subyek juga tidak berdaya untuk mengatasi rasa takutnya tersebut saat
tak sengaja berhadapan dengan Obyek yang ditakutinya (Kucing).
|
ü
|
|
|
|
Selalu menghindari dan mengantisipasi
objek atau situasi yang ditakuti.
|
Selalu
melakukan penghindaran atau melarikan diri ketika berhadapan dengan obyek
yang ditakutinya (Kucing) dan selalu membuat antisipasi diri dalam setiap
lokasi atau saat dalam keadaan berhadapan
dengan Obyek yang ditakutinya (Kucing).
|
ü
|
|
Aksis II
F61.1 Perubahan kepribadian yang bermasalah
|
Tidak
dapat diklasifikasikan pada F60 atau F62 dan dianggap sekunder terhadap suatu
diagnosis utama berupa suatu gangguan afektif atau anxietas yang ada
bersamaan
|
Subjek tidak terganggu dengan kepribadiannya,
gangguan subjek bersifat ringan dan dapat Subyek hindari seperti dengan cara menghindar dari obyek yang ditakutinya, gangguan perasaan dan
kecemasan yang berlebihan subjek selalu bersama
terlihat ketika subjek dihadapkan dengan Obyek yang
ditakutinya.
|
ü
|
|
Aksis III
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Aksis IV
|
Terdapat
masalah dengan “Primary Support Group” (Keluarga).
|
Pengalaman
yang menakutkan atau Pengalaman Traumatis Subyek (dicakar dan digigit oleh salah satu kucing yang ada
pada segerombolan kucing tersebut saat bermain dengan segerombolan Kucing) yang terjadi pada Subyek saat masa Kanak-kanak
tidak dapat terselesaikan dengan baik karena tidak ada dukungan dari orang
tua (agar anaknya tidak takut lagi) semenjak peristiwa tersebut hingga sampai
saat ini.
|
ü
|
|
Aksis V
Global
Assessment Of Functioning (GAF) Scale.
|
80-71 =
Gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial,
pekerjaan, sekolah dan lain-lain.
|
Kriteria Fobia Khas yang dialami Subyek (KH) telah terpenuhi pada diri
Subyek, namun gangguan psikologis tersebut yang ada pada diri Subyek (KH) dapat
diminimalisir atau di sembuhkan dengan teknik penanganan atau pemberian
treatment yang tepat.
Banyak hal yang dapat
dilakukan untuk mengatasi fobia yang ada. Segala tindakan tersebut intinya
dilakukan untuk menghilangkan ketakutan, antara lain :
1.
Hypnotheraphy
Penderita
fobia diberi sugesti-sugesti untuk menghilangkan fobia.
2.
Flooding
Exposure
Treatment yang ekstrim. Jadi, penderita fobia yang takut kepada Kucing, dimasukkan ke
dalam ruangan dengan beberapa ekor kucing, sampai ia tidak ketakutan lagi.
3.
Desentisisasi Sistematis
Dilakukan
exposure bersifat ringan. Si penderita fobia yang takut akan Kucing disuruh rileks dan
membayangkan berada ditempat cagar alam yang indah dimana si penderita didatangi
oleh Kucing-kucing lucu dan menggemaskan.
4.
Abreaksi
Penderita fobia yang takut
pada anjing dibiasakan terlebih dahulu untuk melihat gambar atau film tentang kucing, bila sudah dapat tenang baru kemudian dilanjutkan dengan melihat objek yang sesungguhnya
dari jauh dan semakin dekat perlahan-lahan. Bila tidak ada halangan maka dapat
dilanjutkan dengan memegang kucing dan bila phobianya hilang mereka akan dapat bermain-main dengan kucing. Namun untuk
penderita traumatis memerlukan waktu yang cukup lama untuk sembuh dari
fobianya.
5. Reframing
Penderita fobia diminta
membayangkan kembali menuju masa lampau dimana permulaannya si penderita
mengalami fobia, di tempat itu dibentuk suatu manusia baru yang tidak takut
lagi pada fobia-nya.
Selain itu ada pula
yang mengatakan bahwa fobia dapat di atasi dengan cara:
a.
Terapi berbicara. Perawatan ini seringkali efektif untuk
mengatasi berbagai fobia. Jenis terapi bicara yang bisa digunakan adalah:
1.
Konseling: konselor biasanya akan
mendengarkan permasalahan penderita fobia, seperti ketakutannya saat berhadapan
dengan barang atau situasi yang membuatnya fobia. Setelah itu konselor akan
memberikan cara untuk mengatasinya.
2.
Psikoterapi: seorang psikoterapis akan
menggunakan pendekatan secara mendalam untuk menemukan penyebabnya dan memberi
saran bagaimana cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.
3.
Terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioural Therapy/CBT): yaitu suatu konseling yang akan menggali pikiran, perasaan dan
perilaku seseorang dalam rangka mengembangkan cara-cara praktif yang efektif
untuk melawan fobia.
b.
Terapi pemaparan diri
(Desensitisation). Orang yang mengalami fobia sederhana bisa
diobati dengan menggunakan bentuk terapi perilaku yang dikenal dengan terapi
pemaparan diri. Terapi ini dilakukan secara bertahap selama periode waktu
tertentu dengan melibatkan objek atau situasi yang membuatnya takut. Secara
perlahan-lahan seseorang akan mulai merasa tidak cemas atau takut lagi terhadap
hal tersebut. Kadang-kadang dikombinasikan dengan pengobatan dan terapi
perilaku.
c.
Menggunakan obat-obatan. Penggunaan
obat sebenarnya tidak dianjurkan untuk mengatasi fobia, karena biasanya dengan
terapi bicara saja sudah cukup berhasil. Namun, obat-obatan ini dipergunakan
untuk mengatasi efek dari fobia seperti cemas yang berlebihan. Terdapat 3 jenis
obat yang direkomendasikan untuk mengatasi kecemasan, yaitu: Antidepresan, Obat
penenang, atau Beta-blocker.
Namun,
sesungguhnya tidak ada obat yang paling ampuh untuk mengatasi fobia selain
keyakinan penderita bahwa ia dapat mengatasinya dan tidak ada yang perlu
dikhawatirkan dari hal itu.