Selasa, 05 Agustus 2014

Tamper Tantrum pada usia dini

Nama  : Eka Safa'ati

Gangguan emosional Tamper Tantrum pada usia dini
Temper tantrum atau yang kerap disingkat ‘tantrum’ sebenarnya merupakan cetusan atau letupan emosi yang tampil dalam bentuk perilaku agresif yang tidak terkendali. Tantrum biasanya muncul saat terjadi situasi yang secara emosi mengecewakan, misalnya saat anak gagal mendapat apa yang ia inginkan atau saat permintaan anak ditolak oleh orangtua. Tantrum yang alami, terjadi pada anak-anak yang belum mampu menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka, karena tidak terpenuhinya keinginan mereka.
Tantrum dianggap berbahaya jika tampil dalam bentuk perilaku agresif baik menyakiti orang lain ataupun diri sendiri dimana tidak jarang hal tersebut malah akan menimbulkan masalah baru akibat kerusakan yang dihasilkannya. Letupan emosi saat berhadapan dengan situasi yang tidak sesuai dengan harapan ini dapat ditampilkan secara agresif terhadap orang lain (memaki, memukul, menendang, mengigit, menjerit, dsb) ataupun kepada diri sendiri (menyakiti diri sendiri). Selain itu, kekecewaan anak juga dapat ditampilkan secara pasif (menarik diri, ngambek, dll). Tantrum sering terjadi selama tahun kedua kehidupan, saat anak-anak mulai bisa berbicara.
Tantrum merupakan fase ketika anak mengalami kemarahan luar biasa dengan karakteristik frustasi, dilanjutkan dengan menangis, berteriak, dan pergerakan badan yang berlebihan, termasuk melempar barang, menjatuhkan diri ke lantai, dan lain-lain. Tantrum biasanya terjadi pada usia 2 dan 3 tahun, akan mulai menurun pada usia 4 tahun. Mereka biasanya mengalami ini dalam waktu satu tahun. 23 sampai 83 persen dari anak usia 2 hingga 4 tahun pernah mengalami temper tantrum. Umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena pada usia ini anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya.
Kebanyakan anak-anak membuat ulah di tempat tertentu dan juga dengan orang tertentu. Mereka biasanya akan melakukan hal ini ketika mereka tahu ada larangan “tidak” untuk sesuatu yang dia ingin lakukan. Ketika anggota keluarga yang lain menanggapi tantrum dengan sikap kasar dan bahkan sampai memukul, maka masalah akan meningkat. Mengamuk biasanya akan berhenti bila anak mendapat apa yang diinginkan. Tingkat kemarahan anak tergantung bagaimana besarnya energi anak dan juga kesabaran orang tua.

Tantrum lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap sulit dengan ciri-ciri memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar yang tidak teratur, sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru, lambat beradaptasi terhadap perubahan, suasana hati lebih sering negative, mudah terprovokasi, gampang merasa marah dan sulit dialihkan perhatiannya (Zaviera, 2008). La Forge (dalam Zaviera, 2008) menilai bahwa tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif, dan emosi. Sebagai periode dari perkembangan, tantrum pasti akan berakhir.
Menurut Purnamasari (2005) menyebutkan bahwa setiap anak yang setidaknya telah berusia 18 bulan hingga tiga tahun dan bahkan lebih akan menentang perintah dan menunjukkan individualitasnya sekali waktu. Hal ini merupakan bagian normal balita karena mereka terus menerus mengeksplorasi dan mempelajari batasan-batasan disekelilingnya. Anak akan menunjukkan berbagai macam tingkah laku, seperti keras kepala dan membangkang karena sedang mengembangkan kepribadian dan otonominya. Tantrum juga merupakan cara normal untuk mengeluarkan semua perasaan yang menumpuk. Seorang anak pada usia ini akan menunjukkan beberapa atau semua tingkah laku sebagai berikut :
a.       Penolakan atas kontrol dalam bentuk apapun
b.      Keinginan untuk mandiri, lebih banyak menuntut dan menunjukkan
c.       Tingkah laku yang membangkang.
d.      Berganti-ganti antara kemandirian dan bertingkah manja.
e.       Ingin mendapatkan kendali dan ingin mengendalikan
f.       Pada umumnya menunjukkan tantrum.

B.     Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum, diantaranya adalah (Zaviera, 2008) :
a.       Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu
Anak jika menginginkan sesuatu harus selalu terpenuhi, apabila tidak berhasil terpenuhinya keinginan tersebut maka anak sangat dimungkinkan untuk memakai cara tantrum guna menekan orangtua agar mendapatkan apa yang ia inginkan (Zaviera, 2008).
b.      Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri
Anak-anak mempunyai keterbatasan bahasa, pada saatnya dirinya ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtua pun tidak dapat memahami maka hal ini dapat memicu anak menjadi frustasi dan terungkap dalam bentuk tantrum (Zaviera, 2008).
c.       Tidak terpenuhinya kebutuhan
Anak yang aktif membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Apabila suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil, maka anak tersebut akan merasa stress. Salah satu contoh pelepasan stresnya adalah tantrum (Zaviera, 2008).
d.      Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapat apa yang ia inginkan, tantrum dapat terjadi ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dan didominasi oleh orantuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku tantrum. Orangtua yang mengasuh anak secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum (Zaviera, 2008).
Pola asuh orangtua dalam hal ini sebenarnya lebih pada bagaimana orangtua dapat memberikan contoh atau teladan kepada anak dalam setiap bertingkah laku karena anak akan selalu meniru setiap tingkah laku orangtua. Jika anak melihat orangtua meluapkan kemarahan atau meneriakkan rasa frustasi karena hal kecil, maka anak akan kesulitan untuk mengendalikan diri. Seorang anak perlu melihat bahwa orang dewasa dapat mengatasi frustasi dan kekecewaan tanpa harus lepas kendali, dengan demikian anak dapat belajar untuk mengendalikan diri. Orangtua jangan menghadapkan anak dapat menunjukkan sikap yang tenang jika selalu memberikan contoh yang buruk.
e.       Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit
Kondisi sakit, lelah serta lapar dapat menyebabkan anak menjadi rewel. Anak yang tidak pandai mengungkapkan apa yang dirasakan maka kecenderungan yang timbul adalah rewel, menangis serta bertindak agresif (Zaviera, 2008).
f.       Anak sedang stress dan merasa tidak aman
Anak yang merasa terancam, tidak nyaman dan stress apalagi bila tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri ditambah lagi lingkungan sekitar yang tidak mendukung menjadi pemicu anak menjadi temper tantrum (Zaviera, 2008).




C.    Menangani Anak Tantrum
Beberapa cara berikut bisa mencegah dan mengurangi perilaku tantrum.
1.      Sabar. Kalau anak uring-uringan maka jangan ikut larut dalam emosi anak. Sebagai orang tua, sebaiknya kita tenang. Diamkan saja beberapa waktu (sampai kita bisa ‘masuk’ berbicara sama dia). Dalam kondisi seperti ini biasanya anak hanya minta diperhatikan. Karena itu, orang tua harus dapat mengerti perasaan anak.
Jangan sampai anda membuang energi dengan bicara keras atau membentak anak. Sebab, sikap tersebut hanya akan membuat emosi anak semakin tinggi. Jika kita bicara dengan emosi,  akan membuat anak terbiasa untuk melawan orang tuanya. Selain itu, jika kita bicara dengan kekerasan, apa yang kita nasehatkan kepada anak justru tak akan didengar.
2.      Dekati dengan ketenangan, seolah-olah bukan sesuatu yg merisaukan. Duduk dan bicara pelan tapi tertata. Seperti “kenapa  sayang?”. Dalam kondisi sejengkel apapun, usahakan anda bicara dengan nada yang pelan. Tunjukkan bahwa anda mempunyai rasa empati terhadap segala perasaan yang dirasakan anak anda.  Berikan pelukan sebagai tanda kasih sayang anda.  Jika mungkin berikan dia minum air putih agar emosinya tidak meledak-ledak.
3.      Lihat respon anak. Jika kita benar-benar memberikan respon positif, biasanya anak akan memberikan respon juga. Jika sudah mulai tenang, bicaralah dengan hati-hati. Lalu jalin komunikasi dengan sang anak.  Minta agar dia menceritakan alasan dia marah. Lalu pelan-pelan beri dia nasehat.
4.      Pahami lebih dulu tuntutan atau keinginan anak. Anda tak harus serta merta menuruti atau lebih ekstrim langsung menolak.  Sejauh itu adalah permintaan yang wajar sesuai kebutuhan anak. Jika ingin memenuhi keinginannya, beri jeda antara saat anak meminta dengan saat Anda memenuhi permintaannya. Ini untuk melatih anak menunda pemenuhan keinginan.
5.      Hindari mengumbar janji. Tidak setiap keinginan anak bisa Anda penuhi, itu betul. Tapi mengumbar janji untuk menghindari rengekan bukan cara yang tepat. Anak selalu ingat janji, dan dia akan selalu menagihnya hingga terpenuhi. Anak seringkali minta sesuatu hanya untuk memuaskan rasa inginnya. Jelaskan padanya bahwa keinginan tidak sama dengan kebutuhan.  Memberi janji tanpa menepati, mengajarkan anak untuk ingkar janji.
6.      Berikan time out, bila anak mulai bertindak destruktif karena tuntutannya diabaikan. Misalnya memukul dan merusak barang-barang di sekitarnya. Masukkan dia ke dalam kamar, jelaskan bahwa dia tidak boleh merusak dan boleh keluar dari kamar setelah tenang.
7.      Peluk anak jika time out tidak berhasil. Jelaskan bahwa perilakunya tidak bisa diterima dan jelaskan padanya bahwa apa yang Anda lakukan adalah bentuk cinta Anda padanya.
8.      Bawa anak masuk ke mobil atau toilet jika mulai memanipulasi Anda di tempat umum.  Tunggu sampai anak tenang. Jelaskan, bila dia tidak bisa berhenti merengek, Anda akan mengajaknya pulang.  
9.      Tenangkan diri Anda bila di tempat  umum, agar tidak terjebak dalam permainan anak. Bila panik, Anda akan segera menghentikan tangisnya dengan memenuhi tuntutannya.   
10.  Menjauhlah sesaat, masuk kamar dan tenangkan diri jika Anda mulai galau  dan bingung apa yang sebaiknya dilakukan. Tarik nafas, jernihkan pikiran. Saat anak tenang, ajak melakukan kegiatan lain. Membahas kembali keinginan anak yang tak bisa Anda penuhi, akan memancing kembali rengekannya.
11.  Abaikan tangisnya, ketika anak bersiap merengek dan menangis mempermainkan emosi Anda. Putarlah musik, dan berjogetlah di hadapan anak tanpa menatap matanya. Sadar tangisnya tak dapat  mengubah keputusan Anda, anak akan berhenti memainkan perasaan Anda.
12.  Konsisten terhadap keputusan. Jika Anda memang tidak ingin mengabulkan keinginanya, tetaplah teguh pada pendirian dan jangan ‘terjebak’.  Bila Anda luluh, akan semakin menguatkan pemahaman anak bahwa Anda mudah dipermainkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar