Nama : Eka Safa'ati
Gangguan
emosional Tamper Tantrum pada usia dini
Temper tantrum atau yang kerap disingkat ‘tantrum’ sebenarnya merupakan cetusan atau letupan emosi yang tampil dalam
bentuk perilaku agresif yang tidak terkendali. Tantrum biasanya muncul saat terjadi situasi yang secara
emosi mengecewakan, misalnya saat anak gagal mendapat apa yang ia
inginkan atau saat permintaan anak ditolak oleh orangtua. Tantrum
yang alami, terjadi pada anak-anak yang belum mampu menggunakan kata-kata untuk
mengekspresikan rasa frustrasi mereka, karena tidak terpenuhinya keinginan
mereka.
Tantrum
dianggap berbahaya jika tampil dalam bentuk perilaku agresif baik menyakiti
orang lain ataupun diri sendiri dimana tidak jarang hal tersebut malah akan
menimbulkan masalah baru akibat kerusakan yang dihasilkannya.
Letupan emosi saat berhadapan dengan situasi yang tidak sesuai dengan harapan
ini dapat ditampilkan secara agresif terhadap orang lain (memaki, memukul,
menendang, mengigit, menjerit, dsb) ataupun kepada diri sendiri (menyakiti diri
sendiri). Selain itu, kekecewaan anak juga dapat ditampilkan secara pasif
(menarik diri, ngambek, dll). Tantrum sering terjadi
selama tahun kedua kehidupan, saat anak-anak mulai bisa berbicara.
Tantrum merupakan fase
ketika anak mengalami kemarahan
luar biasa dengan karakteristik frustasi, dilanjutkan dengan menangis,
berteriak, dan pergerakan badan yang berlebihan, termasuk melempar barang,
menjatuhkan diri ke lantai, dan lain-lain. Tantrum
biasanya terjadi pada usia 2 dan 3 tahun, akan mulai menurun pada usia 4 tahun.
Mereka biasanya mengalami ini dalam waktu satu tahun. 23
sampai 83 persen dari anak usia 2 hingga 4 tahun pernah mengalami temper
tantrum. Umumnya anak kecil lebih emosional
daripada orang dewasa karena pada usia ini anak masih relatif muda dan belum
dapat mengendalikan emosinya.
Kebanyakan anak-anak membuat ulah di
tempat tertentu dan juga dengan orang tertentu. Mereka
biasanya akan melakukan hal ini ketika mereka tahu ada larangan “tidak” untuk
sesuatu yang dia ingin lakukan. Ketika anggota keluarga
yang lain menanggapi tantrum dengan sikap kasar dan bahkan sampai memukul, maka
masalah akan meningkat. Mengamuk biasanya akan berhenti bila anak mendapat
apa yang diinginkan. Tingkat kemarahan anak tergantung bagaimana besarnya
energi anak dan juga kesabaran orang tua.
Tantrum lebih
mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap sulit dengan ciri-ciri memiliki
kebiasaan tidur, makan dan buang air besar yang tidak teratur, sulit menyukai
situasi, makanan dan orang-orang baru, lambat beradaptasi terhadap perubahan,
suasana hati lebih sering negative, mudah terprovokasi, gampang merasa marah
dan sulit dialihkan perhatiannya (Zaviera, 2008). La
Forge (dalam Zaviera, 2008) menilai bahwa tantrum adalah suatu perilaku yang
masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu
periode dalam perkembangan fisik, kognitif, dan emosi. Sebagai periode dari
perkembangan, tantrum pasti akan berakhir.
Menurut
Purnamasari (2005) menyebutkan bahwa setiap anak yang setidaknya telah berusia
18 bulan hingga tiga tahun dan bahkan lebih akan menentang perintah dan
menunjukkan individualitasnya sekali waktu. Hal ini merupakan bagian normal
balita karena mereka terus menerus mengeksplorasi dan mempelajari
batasan-batasan disekelilingnya. Anak akan menunjukkan berbagai macam tingkah
laku, seperti keras kepala dan membangkang karena sedang mengembangkan
kepribadian dan otonominya. Tantrum juga merupakan cara normal untuk
mengeluarkan semua perasaan yang menumpuk. Seorang anak pada usia ini akan menunjukkan
beberapa atau semua tingkah laku sebagai berikut :
a.
Penolakan atas kontrol dalam bentuk
apapun
b. Keinginan
untuk mandiri, lebih banyak menuntut dan menunjukkan
c. Tingkah
laku yang membangkang.
d. Berganti-ganti
antara kemandirian dan bertingkah manja.
e. Ingin
mendapatkan kendali dan ingin mengendalikan
f. Pada
umumnya menunjukkan tantrum.
B.
Faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya temper tantrum
Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya temper tantrum, diantaranya adalah (Zaviera, 2008) :
a. Terhalangnya
keinginan anak mendapatkan sesuatu
Anak jika menginginkan sesuatu harus
selalu terpenuhi, apabila tidak berhasil terpenuhinya keinginan tersebut maka
anak sangat dimungkinkan untuk memakai cara tantrum guna menekan orangtua agar
mendapatkan apa yang ia inginkan (Zaviera, 2008).
b. Ketidakmampuan
anak mengungkapkan diri
Anak-anak mempunyai keterbatasan bahasa,
pada saatnya dirinya ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtua
pun tidak dapat memahami maka hal ini dapat memicu anak menjadi frustasi dan
terungkap dalam bentuk tantrum (Zaviera, 2008).
c. Tidak
terpenuhinya kebutuhan
Anak yang aktif membutuhkan ruang dan
waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang
lama. Apabila suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan
mobil, maka anak tersebut akan merasa stress. Salah satu contoh pelepasan
stresnya adalah tantrum (Zaviera, 2008).
d. Pola
asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga
berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu
mendapat apa yang ia inginkan, tantrum dapat terjadi ketika suatu kali
permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dan didominasi oleh orantuanya,
sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan
perilaku tantrum. Orangtua yang mengasuh anak secara tidak konsisten juga bisa
menyebabkan anak tantrum (Zaviera, 2008).
Pola
asuh orangtua dalam hal ini sebenarnya lebih pada bagaimana orangtua dapat
memberikan contoh atau teladan kepada anak dalam setiap bertingkah laku karena
anak akan selalu meniru setiap tingkah laku orangtua. Jika anak melihat
orangtua meluapkan kemarahan atau meneriakkan rasa frustasi karena hal kecil,
maka anak akan kesulitan untuk mengendalikan diri. Seorang anak perlu melihat
bahwa orang dewasa dapat mengatasi frustasi dan kekecewaan tanpa harus lepas
kendali, dengan demikian anak dapat belajar untuk mengendalikan diri. Orangtua
jangan menghadapkan anak dapat menunjukkan sikap yang tenang jika selalu
memberikan contoh yang buruk.
e. Anak
merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit
Kondisi sakit, lelah serta lapar dapat
menyebabkan anak menjadi rewel. Anak yang tidak pandai mengungkapkan apa yang
dirasakan maka kecenderungan yang timbul adalah rewel, menangis serta bertindak
agresif (Zaviera, 2008).
f. Anak
sedang stress dan merasa tidak aman
Anak yang merasa terancam, tidak nyaman
dan stress apalagi bila tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri ditambah
lagi lingkungan sekitar yang tidak mendukung menjadi pemicu anak menjadi temper
tantrum (Zaviera, 2008).
C.
Menangani Anak Tantrum
Beberapa cara berikut bisa mencegah dan mengurangi
perilaku tantrum.
1.
Sabar. Kalau anak
uring-uringan maka jangan ikut larut dalam emosi anak. Sebagai orang tua,
sebaiknya kita tenang. Diamkan saja beberapa waktu (sampai kita bisa ‘masuk’
berbicara sama dia). Dalam kondisi seperti ini biasanya anak hanya minta
diperhatikan. Karena itu, orang tua harus dapat mengerti perasaan anak.
Jangan sampai anda membuang energi dengan bicara keras
atau membentak anak. Sebab, sikap tersebut hanya akan membuat emosi anak
semakin tinggi. Jika kita bicara dengan emosi, akan membuat anak terbiasa
untuk melawan orang tuanya. Selain itu, jika kita bicara dengan kekerasan, apa
yang kita nasehatkan kepada anak justru tak akan didengar.
2.
Dekati
dengan ketenangan, seolah-olah bukan sesuatu yg merisaukan. Duduk dan bicara
pelan tapi tertata. Seperti “kenapa sayang?”. Dalam
kondisi sejengkel apapun, usahakan anda bicara dengan nada yang pelan.
Tunjukkan bahwa anda mempunyai rasa empati terhadap segala perasaan yang
dirasakan anak anda. Berikan pelukan sebagai tanda kasih sayang anda.
Jika mungkin berikan dia minum air putih agar emosinya tidak
meledak-ledak.
3.
Lihat respon
anak. Jika kita
benar-benar memberikan respon positif, biasanya anak akan memberikan respon
juga. Jika sudah mulai tenang, bicaralah dengan hati-hati. Lalu jalin
komunikasi dengan sang anak. Minta agar dia menceritakan alasan dia
marah. Lalu pelan-pelan beri dia nasehat.
4.
Pahami lebih dulu tuntutan atau keinginan anak. Anda tak
harus serta merta menuruti atau lebih ekstrim langsung menolak. Sejauh
itu adalah permintaan yang wajar sesuai kebutuhan anak. Jika ingin memenuhi
keinginannya, beri jeda antara saat anak meminta dengan saat Anda memenuhi
permintaannya. Ini untuk melatih anak menunda pemenuhan keinginan.
5.
Hindari mengumbar janji. Tidak setiap
keinginan anak bisa Anda penuhi, itu betul. Tapi mengumbar janji untuk
menghindari rengekan bukan cara yang tepat. Anak selalu ingat janji, dan dia
akan selalu menagihnya hingga terpenuhi. Anak seringkali minta sesuatu hanya
untuk memuaskan rasa inginnya. Jelaskan padanya bahwa keinginan tidak sama
dengan kebutuhan. Memberi janji tanpa menepati, mengajarkan anak untuk
ingkar janji.
6. Berikan time out, bila anak mulai bertindak destruktif karena
tuntutannya diabaikan. Misalnya memukul dan merusak barang-barang di
sekitarnya. Masukkan dia ke dalam kamar, jelaskan bahwa dia tidak boleh merusak
dan boleh keluar dari kamar setelah tenang.
7. Peluk anak
jika time out tidak berhasil. Jelaskan bahwa perilakunya tidak
bisa diterima dan jelaskan padanya bahwa apa yang Anda lakukan adalah bentuk
cinta Anda padanya.
8. Bawa anak
masuk ke mobil atau toilet jika mulai memanipulasi Anda di tempat umum.
Tunggu sampai anak tenang. Jelaskan, bila dia tidak bisa berhenti merengek,
Anda akan mengajaknya pulang.
9. Tenangkan
diri Anda bila di tempat umum, agar tidak terjebak dalam permainan
anak. Bila panik, Anda akan segera menghentikan tangisnya dengan memenuhi
tuntutannya.
10. Menjauhlah
sesaat, masuk kamar dan tenangkan diri jika Anda mulai galau dan bingung apa
yang sebaiknya dilakukan. Tarik nafas, jernihkan pikiran. Saat anak tenang,
ajak melakukan kegiatan lain. Membahas kembali keinginan anak yang tak bisa
Anda penuhi, akan memancing kembali rengekannya.
11. Abaikan
tangisnya, ketika anak bersiap merengek dan menangis mempermainkan
emosi Anda. Putarlah musik, dan berjogetlah di hadapan anak tanpa menatap
matanya. Sadar tangisnya tak dapat mengubah keputusan Anda, anak akan
berhenti memainkan perasaan Anda.
12. Konsisten
terhadap keputusan. Jika Anda memang tidak ingin mengabulkan keinginanya,
tetaplah teguh pada pendirian dan jangan ‘terjebak’. Bila Anda luluh,
akan semakin menguatkan pemahaman anak bahwa Anda mudah dipermainkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar